ESDM Minta PLN Ubah Skema Pengadaan Listrik untuk Kurangi Beban Negara
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong PT PLN (Persero) untuk meninggalkan skema take or pay atau TOP yang berlaku untuk pengadaan listrik dari produsen swasta.
ESDM menganggap skema tersebut menjadi beban keuangan negara di tengah kondisi kelebihan pasokan listrik yang mencapai 6 giga watt. Dengan kondisi tersebut, PLN harus membayar Rp 18 triliun meski listrik yang dihasilkan tak terserap oleh masyarakat dan pelaku usaha.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana, mengatakan bahwa skema TOP menjadi salah satu aspek yang memengaruhi biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN. Meski demikian, Rida mengakui bahwa kontrak pembelian listrik TOP dengan produsen swasta tak serta merta bisa diputus di tengah jalan.
"Tentu tidak bisa putus kontrak kecuali berani untuk berhadapan dengan arbitrase internasional," kata Rida di Agenda Capaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2022 di Kantor Kementerian ESDM pada Senin (30/1).
Oleh sebab itu, PLN bisa melakukan negosiasi dengan produsen listrik swasta. Dia menjelaskan, negosiasi yang berujung pada pengurangan atau pembatalan TOP bisa berdampak positif bagi anggaran belanja negara.
"Kami imbau untuk para pelaku penandatanganan kontrak ke depannya jangan lagi menggunakan TOP karena listrik kita sudah berlebih." ujar Rida.
Eks Direktur Jenderal Ketenagalistrikan itu menambahkan, pembelian listrik dengan skema TOP berawal dari kondisi RI yang mengalami kekurangan listrik. Adapun kondisi kelebihan pasokan listrik sudah terjadi sejak 2010.
Rida berharap, PLN segera meninggalkan skema pembelian listrik lewat mekanisme take or pay menjadi take and pay yang berarti hanya membeli listrik sesuai kebutuhan.
"Yang kita akan berlakukan ke depannya yakni beli listrik kalau perlu saja dan hanya membayar untuk yang dipakai. Jadi tidak ada ikatan apapun," kata Rida.
Sebelumnya, Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah mengatakan kelebihan suplai listrik selama ini menjadi beban dalam keuangan negara. Pemerintah tetap membayarkan kompensasi kepada PLN sekalipun pasokan berlebih tersebut tidak dipakai.
Said menyebut pemerintah menanggung Rp 3 triliun untuk setiap 1 GW kelebihan pasokan listrik. Sehingga dengan kelebihan pasokan 6 GW, pemerintah membayar biaya mencapai Rp 18 triliun.
"Bisa dibayangkan kalau 1 giga itu, karena kontrak take or pay, maka harus bayar Rp 3 triliun, sebab per 1 giga itu nilainya Rp 3 triliun," kata Said dalam rapat Panja RAPBN 2023 beberapa waktu lalu.
Direktur PLN Darmawan Prasodjo pada saat Rapat Dengar Pendapat atau RDP dengan Komisi VI DPR pada 15 Juni 2022 mengatakan pasokan listrik di Jawa dalam satu tahun ke depan akan bertambah 6,8 GW. Kondisi tersebut tak diimbangi oleh tambahan permintaan yang hanya 800 MW.
Kelebihan pasokan tenaga listrik terjadi di sistem Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) dan sistem Sumatera. Kelebihan listrik terjadi di Sumatera selama tiga tahun ke depan hingga 2025. Tambahan permintaan listriknya hanya 1,5 GW, sedangkan penambahan kapasitas sebesar 5 GW. Wilayah Kalimantan dan Sulawesi juga mengalami hal serupa.