PT PLN menargetkan konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) dapat menyentuh 116 megawatt (MW) dengan target beroperasi komersial pada 2027.
Dedieselisasi tahap awal itu dibagi menjadi dua klaster, yakni Klaster Sumatra, Kalimantan, Jawa - Madura dan Klaster Sulawesi, Maluku, Papua dan Nusa Tenggara.
Wakil Kepada Divisi Komunikasi Korporat PLN, Gregorius Adi Trianto, mengatakan bahwa program dedieselisasi merupakan upaya perseroan untuk meningkatkan bauran energi bersih.
"Langkah ini juga sebagai upaya PLN untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dengan memanfaatkan potensi energi lokal dan terjangkau," kata Greg lewat pesan singkat pada Jumat (12/5).
Program dedieselisasi pembangkit listrik itu akan menyasar pada 33 PLTD yang mayoritas terletak Indonesia Timur. Sejauh ini, program tersebut masih berada pada tahap proses lelang.
Kementerian ESDM sebagai koordinator program dedieselisasi pembangkit akan bekerja sama dengan BUMN seperti PLN dan Perusahaan Gas Negara (PGN).
"Hingga saat ini sudah terdapat sebanyak 41 perusahaan yang berminat dan mengajukan dokumen request for proposal untuk program dedieselisasi di dua klaster tersebut," ujar Greg.
Pada program dedieselisasi, pemerintah menargetkan 5.200 unit pembangkit listrik diesel di 2.130 lokasi berkapasitas 2,37 Giga Watt (GW) yang akan dialihkan menjadi tiga model pembangkit.
Diantaranya, konversi pembangkit listrik tenaga diesel ke gas atau gasifikasi dengan kapasitas 598 megawatt (MW), konversi PLTD menjadi PLT EBT berkapasitas 500 MW dan perluasan jaringan ke sistem terisolasi untuk meniadakan pembangkit listrik tenaga diesel dengan kapasitas 1.070 MW.
Lebih lanjut, sisa PLTD berkapasitas 203 MW masih digunakan sebagai sistem black-start saat terjadi pemadaman. Implementasi dedieselisasi pembangkit diesel menjadi pembangkit gas ditujukan untuk meningkatkan keberlanjutan pasokan energi pembangkit di tengah pasokan dan harga Solar yang saat ini terus berfluktuasi.
Pembangkit listrik berbahan bakar gas dirasa lebih aman dari aspek keberlanjutan sumber daya meningat telah ditemukannya berbagai sumber cadagangan gas baru.
Untuk mengakselerasi program konversi itu, Kementerian ESDM membuka opsi penggunaan dana Just Energy Transition Partnership atau JETP untuk mempercepat program konversi pembangkit listrik diesel menjadi pembangkit listrik gas dan uap.
Program itu dinilai dapat menjadi jalan pintas bagi upaya menurunkan emisi karbon dari sektor pembangkit listrik. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan hal tersebut karena dedieselisasi biayanya lebih murah dibandingkan rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
"Pemerintah ingin mempercepat konversi diesel ke gas, lalu dari gas nanti ke pembangkit EBT. Langkah ini paling cepet sih kalau mau menurunkan emisi," kata Arifin saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (17/2).
Melalui modal atau pendanaan transisi energi senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun yang disepakati pada KTT G20 November tahun lalu, pemerintah berencana membikin sejumlah langkah untuk mengurangi emisi gas karbon, terutama dari sektor pembangkit listrik.
Selain digunakan untuk mengakomodir program pensiun dini PLTU, pendaan JETP akan disalurkan untuk membangun infrastruktur pembangkit listrik EBT. "Tidak hanya pensiun dini PLTU, ada juga isu lain. Mudah-mudahan dedieselisasi bisa masuk untuk pendanaannya," ujar Arifin.
Adapun sumber pendanaan JETP digawangi oleh Amerika Serikat (AS) dan Jepang, beberapa negara G7 plus Denmark, Norwegia, dan Uni Eropa. Dana tersebut akan disalurkan dalam bentuk hibah, pinjaman lunak, dan pinjaman komersial.