Minim dan Mahalnya Rig Ancam Target Pengeboran Sumur Migas Tahun Ini

Katadata / Trion Julianto
SKK Migas dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) melakukan peninjauan pompa angguk di lokasi Sumur Bor Lapangan Duri, Riau (30/12/2022).
20/7/2023, 15.59 WIB

Indonesian Petroleum Association (IPA) menyoroti adanya kelangkaan dan tingginya biaya sewa rig atau alat pengeboran untuk kegiatan hulu migas di dalam negeri.

Kondisi tersebut berpotensi mengancam pencapaian target pengeboran sumur migas tahun ini yang diperkirakan tertahan di angka 864 sumur, lebih rendah dari target 991 sumur.

Vice President IPA, Ronald Gunawan, menjelaskan kondisi kekurangan bor di sektor hulu migas bermula saat mayoritas pelaku usaha mengurangi kegiatan pengeboran imbas krisis Pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada 2020-2022.

Mayoritas perusahaan yang bergerak di penyewaan rig dan perusahaan yang memiliki rig mandiri saat itu mengendapkan alat pengeboran mereka di lokasi penyimpanan.

Ronald melanjutkan, gairah pengeboran hulu migas mulai timbul saat memasuki medio 2022 seiring adanya krisis energi di Eropa. Perburuan energi fosil secara gencar menimbulkan permintaan rig yang naik signifikasi. Angka permintaan lebih tinggi dari jumlah rig yang tersedia.

Terlebih, status rig yang telah lama berada di lokasi penyimpanan membutuhkan biaya pemeliharaan tambahan sebelum digunakan kembali untuk mengangkut minyak dan gas dari perut bumi. Selain menimbulkan ongkos ekstra untuk peremajaan material rig, perawatan juga memakan waktu yang relatif lama.

"Saat mulai ramai drilling, penyediaan rig perlu waktu, perlu order lagi dan itu gak datang dalam satu bulan, kadang bisa tiga sampai empat bulan. Akibatnya terjadi problem supply and demand," kata Ronald dalam Konferensi Pers IPA Convex di Kembang Goela Jakarta pada Kamis (20/7).

Dia mengatakan bahwa kondisi serupa juga terjadi pada industri hulu migas di seluruh belahan dunia. Ronald juga menyampaikan bahwa kenaikan penggunaan jasa rig untuk pengeboran di lepas pantai atau offshore meningkat drastis, terutama pada wilayah timur tengah seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

"Rig darat juga sama, tapi kenaikannya tidak setinggi rig laut karena supply-demand-nya masih oke. Biayanya naik tapi tidak separah rig offshore," ujar Ronald.

Fenomena kelangkaan rig sejatinya merupakan persoalan yang telah terjadi sejak awal tahun. SKK Migas melaporkan kebutuhan 150 rig untuk memenuhi target pengeboran 991 sumur pengembangan dan 57 sumur eksplorasi. Namun hingga April, SKK Migas baru menjamin ketersediaan 111 rig.

Secara rinci, Indonesia membutuhkan 111 rig sumur pengembangan dan 39 rig sumur eksplorasi, sehingga totalnya 150. Namun yang tersedia yakni 89 rig sumur pengembangan dan 22 rig sumur eksplorasi atau total 111. Dari total yang tersedia, 89 rig sumur pengembangan sudah dikontrak. Sedangkan 22 rig sumur eksplorasi dalam proses pengadaan.

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi Suryodipuro mengatakan pihaknya telah mengunci komitmen 20 rig untuk sumur eksplorasi dan masih ada 19 rig dalam proses pengadaan. Keterbatasan fasilitas rig tersebut ikut mengerek biaya sewa, terutama untuk rig pengeboran di wilayah migas offshore.

"Tentu saja karena kondisi global yang mengalami peningkatan kegiatan sejak tahun lalu, menyebabkan ketersediaan rig di Indonesia menjadi terbatas," kata Hudi kepada Katadata.co.id beberapa waktu lalu, Kamis (6/4).

SKK Migas melakukan sejumlah langkah untuk mengatasi kekurangan rig. Seperti menjajaki peluang pengadaan bersama dengan beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) hingga optimalisasi penggunaan rig dengan mengubah strategi pelaksanaan operasional dari pengeboran yang telah selesai ke beberapa lapangan yang cocok.

Selain itu, SKK Migas juga berupaya untuk menjaga keandalan rig yang sudah ada agar mempertahankan operasi yang optimal.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu