LSM Beijing: Pasar Karbon Indonesia Mirip Cina, Bermula dari PLTU
Direktur Institute of Public and Environmental Affairs (IPE), Ma Jun, mengatakan upaya pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesa serupa dengan yang terjadi di Cina.
Petinggi organisasi nirlaba penelitian lingkungan asal Beijing ini menyebutkan peluncuran pasar karbon di Cina pada September 2020 lalu dimulai dengan pelaksanaan perdagangan karbon di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU batu bara.
PLTU batu bara wajib memasangan perangkat sistem pemantauan emisi berkelanjutan atau continuous emission monitoring systems (CEMS). CEMS adalah sistem yang mengukur laju emisi dan konsentrasi gas, partikulat, dan polutan lainnya dalam sumber emisi, cerobong asap pembangkit listrik, proses industri, dan pengolahan limbah.
"Sama dengan kami yang memulainya dengan pembangkit listrik tenaga batu bara, karena cara ini yang paling mudah. Pihak PLTU mengirim kode dan data secara teratur dan menghasilkan data keluaran emisi," kata Ma Jun saat menjadi pembicara di ASEAN Indo-Pasific Forum (AIPF) di Jakarta, Rabu (9/6).
Ma Jun berharap Indonesia dapat lebih ketat dalam pengawasan uji coba perdagangan karbon terbatas pada sektor PLTU batu bara. Dia menceritakan, otoritas Pemerintah Cina kerap mendapati para pelaku industri PLTU batu bara yang mencoba mengubah data keluaran emisi.
"Kami menghabiskan paruh pertama tahun ini untuk mencoba mengungkap beberapa kasus penipuan tersebut, karena memang ada godaan yang cukup besar bagi pihak ketiga untuk melakukannya," ujar Ma Jun.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM sejatinya telah meluncurkan mekanisme perdagangan karbon di sektor pembangkit listrik sejak Februari lalu. Mekanisme ini akan dijalankan oleh 99 PLTU batu bara yang dimiliki oleh 42 perusahaan dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt (MW).
Pelaksanaan perdagangan karbon tahun ini wajib berlaku untuk Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang tersambung ke jaringan tenaga listrik PLN dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW.
Berdasarkan peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik yang telah disusun, pelaksanaan perdagangan karbon berpotensi dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar lebih dari 36 juta ton CO2e di tahun 2030.
Adapun Bank Mandiri menganggap pelaksanaan pasar karbon di dalam negeri bakal menaikan pendapatan perusahaan seiring tumbuhnya nasabah dari sektor industri energi terbarukan.
Wakil Direktur Utama Bank Mandiri, Alexandra Askandar mengatakan saat ini pihaknya masih menunggu pelaksanaan bursa karbon usai Otoritas Jasa Keuangan atau OJK menerbitkan Peraturan OJK Nomor 14 tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon.
Dia menilai, implementasi perdagangan karbon nantinya bakal menarik partisipasi banyak pihak. Penyataan tersebut didasari oleh langkah pemerintah yang belakangan aktif memberikan stimulus kepada proyek energi ramah lingkungan. Satu diantaranya yakni insentif pembelian kendaraan listrik melalui relaksasi pajak dan potongan harga.
"Maksud saya, Indonesia belum menerapkan pasar karbon, tapi kita sudah melihat perkembangan positifnya," kata Alexandra.
Di sisi lain, Alexandra juga berharap pemerintah bisa menetapkan besaran harga karbon yang kompetitif untuk pelakasanaan pajak karbon nantinya.
"Harga karbon yang tepat akan menjadi pendorong utama untuk mencapai tujuan menciptakan lebih banyak pembiayaan ramah lingkungan," ujar Alexandra.
Bank Mandiri mencatat telah menghimpun green bond atau obligasi hijau senilai Rp 5 triliun. Menurut Alexandra, capaian tersebut menunjukan minat investor pada produk keuangan yang berkelanjutan berbasis environmental, social, and corporate governance (ESG).