Pemerintah saat ini tengah menyusun Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatur penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) di lapangan migas.
Regulasi tersebut memungkinkan pemerintah memonetisasi reservoir atau cekungan migas sebagai lokasi penyimpanan emisi karbon dioksida atau CO2. Hal ini untuk mendukung permintaan penyimpanan CO2 internasional melalui mekanisme perdagangan karbon.
Direktur Jendral Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji mengatakan bahwa naskah Perpres CCS/CCUS saat ini berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Menurut Tutuka, Kementerian ESDM dan KLHK sedang menyepakati sifat dan entitas CO2. Pembahasan mengacu pada penilaian karbon dioksida sebagai sampah atau komoditas barang bernilai.
"KLHK sudah memberikan masukan terkait Perpres itu," kata Tutuka di Park Hyatt Jakarta pada Kamis (7/9).
Tutuka menjelaskan, apabila pembahasan tersebut menyepakati CO2 sebagai sampah, maka karbon dioksida akan menjadi bahan berbahaya dan beracun. Dampaknya, Indonesia tak bisa memanfaatkan reservoir migas sebagai media perdagangan karbon global.
"Tapi kalau dianggap komiditas, Indonesia bisa terima impor CO2," ujar Tutuka.
Mekanisme injeksi CO2 ke reservoir migas dalam perdagangan karbon nantinya bakal menggunakan fasilitas kapal khusus ke negara tujuan. Kapal tersebut nantinya bakal merapat ke terminal regasifikasi untuk selanjutnya diinjeksikan ke dalam perut bumi.
Sebelumnya, pemerintah telah merilis aturan CCUS/CCS lewat Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2023. Pada Pasal 6, pemerintah mengizinkan penangkapan emisi karbon dalam penyelenggaraan CCUS/CCS dapat berasal dari industri di luar kegiatan usaha hulu migas.
Kendati demikian, aturan tersebut belum mengatur pemanfaatan reservoir migas untuk kegiatan perdagangan karbon global. "Kementerian ESDM cenderung menganggap CO2 sebagai komoditi," kata Tutuka.
Pertamina Siapkan Cadangan
Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengatakan mekanisme perdagangan karbon bisa menjadi peluang bisnis industri migas masa depan di kawasan ASEAN. Hal ini menjadi salah satu jalan menuju transisi energi global.
"Salah satu kolaborasi yang bisa tercipta di ASEAN dan Indo-Pasifik," kata Nicke saat menjadi pembicara di ASEAN Indo-Pasific Forum (AIPF) di Jakarta, Rabu (9/6).
Nicke mengatakan perseroan siap menerapkan perdaganan karbon domestik dalam waktu dekat. Pernyataan tersebut mengacu pada aksi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang telah menerbitkan aturan perdagangan karbon, dan akan mengoperasikan Bursa Karbon akhir September ini.
OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 14 tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. Instrumen hukum itu akan menjadi regulasi yang mengatur penyelenggaraan perdagangan karbon di Tanah Air. Regulasi itu telah mendapat persetujuan Komisi XI DPR.
Rencana Pertamina untuk aktif dalam mekanisme perdagangan karbon global tercermin dari inisiatif perusahaan yang mulai mengimplementasi CCS maupun CCUS. Penerapan teknologi tangkap karbon oleh Pertamina merupakan yang pertama kali di lapangan migas di Indonesia.
Pertamina menggunakan teknologi CCUS perdana dengan injeksi C02 di Lapangan Pertamina EP Jatibarang, Indramayu, Jawa Barat pada Oktober tahun lalu.
Adapun studi Pertamina menemukan total potensi penyimpanan karbon sebesar 400 giga ton dari seluruh cekungan migas di Indonesia. Perseroan juga mendeteksi adanya potensi tempat penyimpanan karbon di Cekungan Sunda-Asri sebesar 2 giga ton Co2.