SKK Migas Tarik Lima Rig Cina untuk Pengeboran Lapangan Migas 2024
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) telah mengunci lima komitmen tambahan penyediaan alat pengeboran (rig) dari Cina. Hal tersebut diharap mampu mengakselerasi pengeboran lapangan migas pada tahun depan.
Kabar mengenai kelangkaan dan tingginya biaya sewa rig untuk kegiatan hulu migas di dalam negeri telah terdengar sejak awal tahun. Kondisi tersebut memicu SKK Migas membuat proyeksi pengeboran sumur pengembangan tahun ini hanya tertahan di angka maksimal 919 sumur, lebih rendah dari target awal sebanyak 991 sumur.
Wakil Kepala SKK Migas Nanang Abdul Manaf mengatakan penambahan rig untuk kegiatan pengeboran dalam negeri hanya tinggal menunggu penyelesaian administrasi. "Kami sudah punya titik terang, hanya masalah waktu. Sudah ada tambahan empat atau lima rig dari Cina," kata Nanang di Kembang Goela, Jakarta, pada Rabu (13/9).
SKK Migas melaporkan ada kebutuhan 150 rig untuk memenuhi target pengeboran 991 sumur pengembangan dan 57 sumur eksplorasi sepanjang tahun 2023. Namun hingga April, SKK Migas baru menjamin ketersediaan 111 rig. Secara rinci, Indonesia membutuhkan 111 rig untuk pengeboran sumur pengembangan dan 39 rig sumur eksplorasi, sehingga total 150 rig.
Dari total yang tersedia, 89 rig sumur pengembangan sudah dikontrak. Adapun 22 rig sumur eksplorasi dalam proses pengadaan. Keterbatasan fasilitas rig tersebut ikut mengerek biaya sewa, terutama untuk rig pengeboran di wilayah migas lepas pantai (offshore).
"Cina tertarik masuk ke Indonesia, tinggal fine tuning dan masalah administrasi,.Pada awal tahun depan akan ada tambahan rig dan pengeboran bisa dikejar," ujar Nanang.
Indonesian Petroleum Association (IPA) sebelumnya mengkhawatirkan kelangkaan dan tingginya biaya sewa rig untuk kegiatan hulu migas di dalam negeri. Kondisi tersebut berpotensi mengancam pencapaian target pengeboran sumur migas tahun ini yang diperkirakan tertahan di angka 864 sumur, lebih rendah dari target SKK Migas sebanyak 991 sumur.
Permintaan Rig Naik Pasca Pandemi Covid-19
Vice President IPA Ronald Gunawan mengatakan kekurangan bor di sektor hulu migas bermula saat mayoritas pelaku usaha mengurangi kegiatan pengeboran akibat dampak pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada 2020-2022.
Mayoritas perusahaan yang bergerak di penyewaan rig dan perusahaan yang memiliki rig mandiri saat itu mengendapkan alat pengeboran mereka di lokasi penyimpanan. Ronald melanjutkan, gairah pengeboran hulu migas mulai timbul saat memasuki pertengahan 2022 seiring adanya krisis energi di Eropa.
Perburuan energi fosil secara gencar menimbulkan permintaan rig yang naik signifikan. Angka permintaan lebih tinggi dari jumlah rig yang tersedia. Terlebih, status rig yang telah lama berada di lokasi penyimpanan membutuhkan biaya pemeliharaan tambahan sebelum digunakan kembali untuk mengangkut minyak dan gas dari perut bumi.
Selain menimbulkan ongkos ekstra untuk peremajaan material rig, perawatan juga memakan waktu yang relatif lama. "Saat mulai ramai drilling, penyediaan rig perlu waktu, perlu order lagi dan itu tidak bisa dipenuhi dalam satu bulan, kadang bisa tiga sampai empat bulan. Akibatnya terjadi problem supply and demand," kata Ronald dalam Konferensi Pers IPA Convex di Kembang Goela, Jakarta, pada Kamis (20/7).
Kondisi serupa juga terjadi pada industri hulu migas di seluruh belahan dunia. Ronald juga menyatakan bahwa kenaikan penggunaan jasa rig untuk pengeboran di lepas pantai atau offshore meningkat drastis, terutama pada wilayah timur tengah seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
"Rig darat juga sama, tapi kenaikannya tidak setinggi rig laut karena supply-demand-nya masih oke. Biayanya naik tapi tidak separah rig offshore," ujar Ronald.