Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya mencari pendanaan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk melaksanakan program pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Program ini diharapkan bisa terlaksana dengan baik dan merata karena hal ini sesuai visi pemerintah untuk mengurangi emisi karbon sekaligus mengakselerasi transisi energi.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan pihaknya meminta bantuan dana dari ADB karena program pensiun dini PLTU batu bara membutuhkan biaya yang cukup besar.
Dadan mengatakan, alasan lain meminta bantuan dari ADB ialah tidak ingin memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Selain itu, pemerintah juga tak bisa hanya mengandalkan pendanaan dari Just Energy Transition Partnership (JETP) yang belum jelas kepastiannya hingga saat ini.
"Sekarang dengan program pensiun dini kami cari pendanaan. Misalnya itu dari ADB, dari lembaga yang lain. Mereka bukan memberi uang, mereka nantinya memberikan pendanaan untuk membayar utang dalam membangun PLTU di awal,” ujar Dadan di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (2/10).
Terkait hal tersebut, Dadan mengatakan saat pelaku usaha membangun PLTU di awal, mereka biasanya meminjam ke bank. Dengan begitu, pinjaman yang diberikan oleh bank pasti memiliki bunga
ADB atau lembaga lainnya akan memberikan pinjaman kepada Kementerian ESDM untuk membayar bunya tersebut dengan bunga yang lebih murah atau rendah.
"Karena ADB lebih murah, dengan IRR (Internal Rate of Return) yang sama dan isu komersial yang sama di awal. Maka, dengan pendanaan yang lebih murah ini bisa selesai lebih cepat," kata dia.
Dengan begitu, dia mengatakan jika operasional PLTU yang sebelumnya dijadwalkan baru bisa selesai dalam waktu 25 tahun mendatang, maka program ini bisa membuat jadwal rampung lebih cepat, yakni menjadi 20 tahun. Dengan demikian, diharapkan tidak ada pihak yang dirugikan.
"Jadi dalam hal ini tidak ada yang dirugikan. Baik pengusaha, pemerintah, atau pun pengembang itu enggak ada. Tidak ada pendanaan yang sifatnya APBN juga,” ujar Dadan.
Sebelumnya, pemerinta Indonesia menerima pinjaman lunak sebesar US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,6 triliun dari dana investasi iklim atau Climate Investment Fund. Dana ini digunakan terutama untuk mempercepat pensiun dini proyek pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N. Kacaribu mengatakan, pemerintah memperoleh dana ini melalui skema mekanisme transisi energi atau Energy Transition Mechanism (ETM).
"Dari jumlah dana yang disetujui, prioritas untuk jangka pendek akan difokuskan untuk mempercepat penghentian dini dua proyek pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara sebesar 1,7 gigawatt," ujar Febrio
Dalam perkembangannya, dia menjelaskan, pendanaan akan ditingkatkan dengan tambahan mencapai US$ 4 miliar atau sekitar Rp 60 triliun dari Asian Development Bank atau ADB, Bank Dunia dan pendanaan lainnya, termasuk pemerintah Indonesia.
Sebagai informasi, PLN akan menghentikan operasional 6,7 gigawatt PLTU batu bara secara bertahap hingga 2040. Hal ini dilakukan dalam dua proses, yakni 3,2 GW PLTU akan setop beroperasi secara natural, dan 3,5 GW lewat skema pensiun dini.
Pembicaran terkait ETM ini sudah dimulai sejak akhir 2021 lewat kerja sama dengan ADB yang diluncurkan dalam acara COP26 di Glasgow. ETM diluncurkan dalam rangka mendukung target menuju emisi nol bersih alias net zero emission. Adapun ADB juga meluncurkan program kerja sama serupa dengan Filipina.