Kementerian ESDM merencanakan pembatasan pemberian izin proyek pabrik pemurnian mineral atau smelter nikel kelas II. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan terkait perkembangan rencana ini masih harus melakukan pembahasan bersama Kementerian Perindustrian.
“Itu kan kebanyakan yang berdiri sendiri kan izinnya di sana,” kata Arifin, saat ditemui di Kementerian ESDM pada Jumat (10/11).
Mengenai moratorium ini, Arifin menjelaskan prosesnya sudah berjalan di Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba). “Minerba kan udah jalan, udah beda lagi. Yang low value kita sudah menyetop lah,” jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM mengatakan sedang mengupayakan koordinasi serta komunikasi bersama Kementerian Perindustrian. Hal ini mempertimbangkan suplai dan permintaan bijih nikel agar smelter yang sudah terbangun bisa mendapatkan pasokan bijih nikel yang cukup untuk keberlanjutan operasinya.
Kementerian ESDM mengatakan moratorium nikel II ini tidak terganjal Kementerian Perindustrian. “Kita harus mulai mengevaluasi dan menentukan bahwa ke depan harus smelter yang bernilai,” terangnya.
Lebih lanjut Arifin menjelaskan bahwa industri hilir dalam negeri bertugas untuk menampung processing yang punya nilai tambah. “Itu harus banyak ditarik, kan sudah mulai ada mudah-mudahan untuk bikin prekursor,” jelasnya.
Arifin mengungkapkan moratorium smelter nikel ini bertujuan untuk mendorong baterai kendaraan listrik (EV). “Itulah modal utama kita. Diberi modal utama mineral yang bisa membantu elektrifikasi energi bersih harus kita manfaatkan,” ucapnya.
Selain suplai dan mendorong baterai EV, moratorium juga dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan bijih nikel agar Indonesia tidak berakhir menjadi pengimpor bijih nikel di masa mendatang.
“Kementerian ESDM sudah ada rencana untuk melakukan pembatasan. Dari Kemenkomarves juga mengatakan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan lagi izin untuk pembangunan smelter jenis untuk proses Pirometalurgi untuk nikel kelas II,” ujar Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif, dikutip Kamis (18/10).
Irwandy menjelaskan, pemerintah akan mengkaji secara komprehensif kebijakan ini, terutama untuk proses nikel yang ada di Indonesia, baik nikel berkadar rendah (limonite) maupun nikel berkadar tinggi (saprolite).
“Saat ini, nikel yang mengalami proses pirometalurgi ke arah stainless steel ada 44 smelter dan yang menggunakan proses hidrometalurgi ke arah baterai itu ada 3 smelter. Konsumsi bijih nikel untuk pirometalurgi dengan saprolite adalah 210 juta ton per tahun dan limonate 23,5 juta ton per tahun,” ujarnya.