Pemerintah memberikan prioritas kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk dapat mengelola wilayah izin pertambangan khusus (WIUPK). Namun hal ini hanya untuk komoditas batu bara, tidak untuk komoditas mineral strategis lainnya.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Kementerian ESDM Lana Saria mengatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan tingkat kesulitan pengelolaan tambang.
“Komoditas batu bara memiliki tingkat kesulitan penambangan yang relatif rendah dan secara langsung dapat bermanfaat bagi masyarakat,” ujarnya dalam diskusi terbuka Partai Amanat Nasional tentang Polemik Izin Tambang untuk Ormas pada Rabu (26/6).
Lana menjelaskan, pada Pasal 83A dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tercantum bahwa penawaran WIUPK ini secara prioritas dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang sama kepada semua pihak terkait pengelolaan kekayaan alam.
“Hal tersebut bertujuan untuk melakukan pemberdayaan atau empowering kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Lana menyebut WIUPK yang ditawarkan kepada ormas keagamaan berupa wilayah bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang diciutkan. “Diberi wilayah bekas PKP2B sehingga tidak perlu membuka lahan baru yang belum ditetapkan wilayahnya,” ucapnya.
Selain PP Nomor 25 Tahun 2024, Lana menyebut pemerintah tengah menyiapkan aturan turunan atau petunjuk teknis mengenai pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan yang akan tertuang dalam revisi Peraturan Presiden nomor 70 Tahun 2023.
“Saat ini sedang disusun oleh Kementerian Investasi atau BKPM namun sebagai gambaran umum, progres atau proses pemberiannya akan dilakukan oleh Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi,” kata dia.
Lana mengatakan, untuk mendapatkan WIUP tersebut, badan usaha ormas juga tetap mengikuti persyaratan sebagaimana badan usaha lainnya, salah satunya.
“Jadi nanti kalau sudah ditentukan siapa yang akan menggunakan wilayah tersebut, maka badan usaha ini kemudian harus membayar biaya kompensasi data dan informasi atau KDI,” ujarnya.
Lana menyebut, kewajiban KDI tetap melekat ke badan usaha ormas keagamaan sesuai dengan ketentuan perundangan yang akan dimasukkan dalam revisi Perpres Nomor 70 Tahun 2023.
Selain KDI, Lana menyampaikan, mekanisme pembinaan dan pengawasan yang akan dilakukan pemerintah pada badan usaha yang dimiliki ormas akan tetap sama dengan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pada badan usaha pada umumnya.
“Tetap harus melakukan penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik bagaimana menerapkan aspek teknisnya, keselamatannya, pengolahan lingkungannya dan juga penerapan konservasi mineral dan batubara serta mengelola usaha jasa dari badan usaha tersebut,” kata dia.
Tidak hanya itu, Lana mengatakan WIUPK yang nantinya dimiliki oleh ormas keagamaan tidak dapat dipindahtangankan dan atau dialihkan tanpa persetujuan Menteri ESDM.
“Kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan dalam badan usaha harus mayoritas dan menjadi pengendali. Badan usaha juga dilarang bekerjasama dengan pemegang PKP2B maksudnya dengan PKP2B sebelumnya dan atau afiliasinya,” ucapnya.