Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengatakan bahwa tren harga nikel yang mulai bangkit pasca menurun pada tahun lalu dipengaruhi oleh kondisi geopolitik dunia.
“Sebetulnya harga naik karena ada perang dan itu terjadi secara berkelanjutan. Sehingga kita bisa memiliki kesempatan memasarkan nikel,” kata Dewan Penasehat APNI, Djoko Widajanto dalam diskusi publik ‘Hilirisasi Industri Nikel, Nilai Tambah Ekonomi, dan Indonesia Bebas Emisi 2069’ di Jakarta, dikutip Jumat (28/6).
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga nikel acuan mulai meningkat sejak April lalu, setelah mengalami penurunan tren sejak Oktober 2023 hingga Maret 2024.
Selain geopolitik, Djoko menyebut naiknya harga nikel dipengaruhi oleh kondisi menipisnya cadangan nikel di negara lain. “Seperti di Kongo, Zimbabwe itu sudah menipis. Belum lagi di Amerika Latin kebanjiran sehingga tidak bisa produksi. Jadi yang punya tinggal Indonesia,” ujarnya.
Djoko menyampaikan, dua keadaan tersebut memperbesar peluang Indonesia memasarkan nikel, meskipun dianggap sebagai penghasil nikel kotor. “Nikel kita kotor saja dibeli orang, jadi kita bersyukur saja,” ucapnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menerbitkan bahwa harga acuan nikel Indonesia naik 8,51% menjadi US$ 18.962,11 per ton metrik kering (dmt) pada Juni 2024. Angka ini meningkat US$ 967,59 per dmt dibandingkan Mei lalu yang mencapai US$ 17.472,38 per dmt.
Kenaikan harga nikel acuan ini mulai terjadi sejak April lalu, hal ini mengakhiri tren penurunan sejak Juni 2023. Meskipun mengalami kenaikan, namun harga nikel acuan bulan ini masih lebih rendah dibandingkan Juni 2023 yang mencapai US$ 23.313 per dmt.
Pemerintah menetapkan harga nikel acuan Juni melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 131.K Tahun 2024 tentang Harga Mineral Logam Acuan dan Harga Batubara Acuan Untuk Bulan Juni 2024 yang ditetapkan pada Rabu (19/6).