PT PLN (Persero) mengajukan penyertaan modal negara (PMN) untuk anggaran 2025 sebesar Rp 3 triliun. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan anggaran tersebut untuk program listrik desa, membangun infrastruktur kelistrikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Dia mengungkapkan bahwa anggaran tersebut dibutuhkan lantaran investasi yang diperlukan untuk membangun infrastruktur kelistrikan di daerah jauh lebih mahal dibandingkan daerah non-3T.
“Investasi pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan di daerah 3T 10 kali lipat lebih mahal dibandingkan daerah non 3T,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI dengan direktur utama PLN, LEN, dan Danareksa, terkait usulan PMN tahun 2025, Rabu (10/7).
Darmo, sapaan akrab Darmawan, menjelaskan bahwa investasi untuk menyambung listrik di daerah non 3T per pelanggan sekitar Rp 2 juta-2,5 juta. Namun di daerah 3T Jawa-Bali investasi yang dibutuhkan mencapai sekitar Rp 18,5 juta, 3T Sumatera-Kalimantan sekitar Rp 38,7 juta, dan 3T Sulawesi-Maluku-Papua sekitar Rp 35,3 juta.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mengatur bahwa pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan sebagai tanggung jawab dan dibiayai oleh negara.
Darmo menjelaskan bahwa hal itu diatur pada pasal 3 ayat 1 yang berbunyi: “penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah”, dan pasal 4 ayat 3d: “untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud, pemerintah dan pemda menyediakan dana untuk pembangunan listrik desa”.
“Jadi ini sudah disebut di UU Ketenagalistrikan yang menyebut bahwa pemerintah memang harus menyediakan dana untuk khusus yaitu listrik desa. Juga ada Perpres 14 Tahun 2017 tentang percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dan Perpres 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024,” ujarnya.
Darmawan mengatakan, pada 2023 dan 2024 PLN tidak mendapatkan PMN dari pemerintah. Hal ini mengakibatkan program lisdes terselenggara menggunakan anggaran PLN, berjumlah Rp 4,75 triliun pada 2023 dan Rp 1,47 triliun pada 2024.
“Jika 2025 tanpa PMN maka kami dengan terpaksa juga menyediakan pendanaan commercial loan dengan tambahan beban bunga Rp 1,55 triliun dan tambahan subsidi kompensasi sebesar Rp 1,57 triliun,” ujarnya.