Kisah Desa Kutuh, Desa Miskin yang Disulap Jadi Desa Wisata di Bali
Desa Kutuh, di Kabupaten Badung, Bali menjadi perhatian masyarakat setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkunjung untuk mengapresiasi desa yang berhasil mengelola dana desa secara tepat sasaran tersebut. Desa yang dahulu miskin itu berhasil meraup pendapatan Rp 50 miliar dan laba bersih Rp 14,5 miliar per tahun dari bisnis pariwisata.
Desa Kutuh juga meraih gelar juara I nasional dalam lomba desa kategori regional II (Jawa dan Bali) yang diselenggarakan Kementerian Dalam Negeri beberapa waktu lalu. Padahal, dahulu Desa Kutuh merupakan salah satu desa miskin di Bali. Saat ini rata-rata jumlah kunjungan wisatawan di desa tersebut diperkirakan mencapai 3 ribu orang per hari. Kesuksesan di bidang pariwisata mengantarkan Desa Kutuh menjadi desa percontohan bagi desa lainnya di Indonesia.
Kepala Desa Adat Kutuh, I Made Wena, mengatakan keberhasilan pembangunan di desa itu tidak terlepas dari peran pemimpinnya. "Desa Kutuh memiliki pemimpin yang berasal dari kalangan dosen, pernah menjabat di pemerintahan, dan lainnya," jelas Wena. Uniknya, desa ini menggunakan sistem dualitas kepemimpinan. Pemimpin pertama disebut sebagai kepala desa adat atau pendesa atau bende desa. Bende desa dapat diartikan sebagai pengikat atau orang yang mengatur desa dan bertanggung jawab langsung kepada masyarakat adat di desanya.
Pemimpin kedua adalah kepala desa sebagai pelaksana tugas administratif atau pemerintahan. Sebagaimana diketahui, pada umumnya kepala desa adalah orang yang dipilih langsung masyarakat dan bertanggung jawab kepada camat.
Meskipun ada dua 'matahari', kedua pemimpin Desa Kutuh mampu menyelaraskan irama program pemerintah dan suara-suara dari masyarakat sehingga mempercepat proses pembangunan. Alhasil, sistem ini pun diadopsi oleh desa-desa lainnya di Bali.
Sebagai informasi, masyarakat adat memiliki posisi kuat dalam perputaran roda kehidupan di Bali. Seluruh aset, termasuk tanah, sarana pendidikan, hingga pemerintahan merupakan aset atas nama masyarakat adat Desa Kutuh. Total penduduk Desa Kutuh sebanyak 4.170 jiwa dan diklasifikasikan menjadi krama ngarep (penduduk asli desa adat), krama tamiu (warga pendatang yang menetap), dan tamiu (tamu atau pendatang).
(Baca: Kembangkan Pariwisata, Bank Mandiri Salurkan KUR di 7 Bali Baru)
Pemanfaatan Lahan Desa Adat untuk Aktivitas Ekonomi
Pemerintah juga bersinergi dengan masyarakat adat untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Salah satu caranya dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam pemberian lahan. Wena menyebutkan, dari 80 hektare lahan masyarakat adat, sekitar 15 hektare telah digunakan untuk aktivitas ekonomi.
Partisipasi masyarakat juga terlihat dari model pengelolaan usaha terintegrasi dari Badan Usaha Milik Desa Adat (Bumda) yang merupakan program inovasi dari Desa Kutuh. Salah satunya tergambar dari unit usaha atraksi wisata khusus Tambis Paragliding.
Sejak 1990, Desa Kutuh sering dijadikan tempat untuk latihan dan bisnis Paralayang. Bisnis tersebut pada awalnya dikelola oleh masyarakat secara mandiri. Sejak 2015, desa adat mengajak masyarakat untuk bergabung dan menjadikan bisnis tersebut sebagai bagian dari usaha desa.
Program Bumda memberikan banyak manfaat bagi masyarakat setempat. Program tersebut dapat menyerap kurang lebih 250 tenaga kerja yang semuanya adalah krama atau penduduk Desa Kutuh. Selain itu, sektor yang dikelola Bumda membuka kesempatan bagi lebih dari 160 kepala keluarga untuk menjadi wirausaha sektor pariwisata dengan berjualan di sekitar area wisata, seperti Pantai Pandawa dan Gunung Payung.
(Baca: Berdenyutnya Desa-desa Wisata di Kaki Borobudur)
Kolaborasi Tanpa Menggeser Aturan Lokal
Desa Kutuh berkomitmen untuk menyelenggarakan program yang memberdayakan masyarakat. Sebagai contoh, program pengembangan unit usaha jasa transportasi pariwisata di mana Desa Kutuh menggandeng salah satu penyelenggara transportasi online, yaitu Grab.
Namun Desa Kutuh memiliki seperangkat kewajiban yang harus dipatuhi terkait dengan penyediaan armada angkutan, proteksi wilayah, sinergi dengan tempat penginapan, dan sinergi dengan kawasan wisata. Armada angkutan harus berasal dari masyarakat asli Desa Kutuh. Selain itu, manajemen transportasi dikelola langsung oleh Bumda.
“Grab harus melibatkan masyarakat Desa Kutuh sebagai driver. Lalu tarif yang berlaku disesuaikan kesepakatan antara pihak desa dan Grab," ujar Wena. Tarif yang digunakan tidak seperti tarif yang berlaku di Indonesia tetapi menyesuaikan dengan kondisi. Misalnya, tarif dari Kuta ke Kutuh Rp 100 ribu tetapi dari Kutuh ke Kuta bisa jadi lebih mahal, misalnya Rp 200 ribu.
(Baca: Proyek Jalan Pintas Mengwitani-Singaraja Ditarget Rampung Akhir Tahun)