Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai upaya pemerintah mendorong ekspor ke Tiongkok dapat menekan defisit neraca dagang. Sebab, Negeri Tembok Raksasa ini merupakan mitra dagang Indonesia terbesar dengan nilai transaksi pada 2018 sebesar US$ 71,6 miliar.
Dari perdagangan ini, Indonesia mengalami defisit US$ 18,4 miliar, lebih tinggi dibanding minus pada 2017 sebesar US$ 12,68 miliar. Heri menyatakan, potensi pasar Cina saat ini sangat besar. Sehingga Indonesia masih mempunyai kesempatan memasarkan produk maupun komoditas ekspor unggulan.
(Baca: Terbesar Era Jokowi, Neraca Dagang Semester I Defisit US$ 1,9 Miliar)
Secara keseluruhan, populasi Tiongkok mencapai 20 % penduduk dunia. Hal tersebut merupakan pasar potensial bagi ekspor Indonesia yang mulai terdampak oleh ketidakpastian perekonomian global akibat perang dagang.
Saat ini, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita melakukan kunjungan dagang ke Negeri Panda itu untuk mendorong ekspor, terutama dari produk-produk unggulan seperti CPO, buah-buahan, dan sarang burung walet. "Sebenarnya masih bisa diupayakan berbagai strategi. Yang namanya berdagang atau bekerja, produknya harus bisa bersaing," kata Heri.
Menurut dia, pemerintah harus segera mengidentifikasi produk atau komoditas unggulan Indonesia untuk dioptimalkan guna meningkatkan ekspor nasional serta menekan defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sepanjang Januari-Juni 2019, ekspor Indonesia ke Tiongkok turun menjadi US$ 10,34 miliar dibanding periode sama tahun lalu US$ 11,13 miliar.
Sementara impor Indonesia dari Tiongkok justru meningkat dari US$ 35,76 miliar menjadi US$ 45,53 miliar. "Artinya dengan perang dagang, Tiongkok bisa mencari pasar alternatif selain ke Amerika Serikat. Mereka bisa ke Indonesia, India dan negara lainnya," ujar Heri.
Dengan kondisi ini, Heri menyarankan pemerintah untuk lebih cermat menangkap peluang perdagangan, seperti budidaya komoditas pertanian agar kebutuhan negara tujuan ekspor dapat dipenuhi.
Ia mengharapkan ada upaya standar produksi komoditas tanaman agar lebih mudah diekspor ke pasar global, apalagi sejumlah negara, termasuk Cina dan Jepang, kerap memberlakukan kebijakan non-tariff measure (NTM) terhadap produk-produk makanan impor.
Secara total, neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 mengalami defisit US$ 2,5 miliar atau setara Rp 36 triliun. Angka ini merupakan yang terdalam sepanjang sejarah. (Lihat Databoks berikut ini).
Merosotnya kinerja ekspor serta meningkatnya impor membuat defisit neraca perdagangan kembali di atas US$ 2 miliar dalam lima bulan terakhir. Melonjaknya defisit neraca perdagangan migas, yang hampir mencapai tiga kali lipat menjadi US$ 1,49 miliar serta terjadinya defisit neraca dagang nonmigas senilai US$ 1 miliar menjadi pemicu terpuruknya kinerja perdagangan Indonesia.
Indonesia juga sempat mencatat defisit perdagangan yang cukup besar, yakni mencapai US$ 2,3 miliar pada Juli 2013 seiring naiknya harga minyak mentah yang membuat impor migas melonjak 155% menjadi US$ 1,86 miliar. Demikian pula impor non migas melonjak tiga kali lipat menjadi US$ 450 juta.