Matahari Tutup 2 Supermarket Grosir karena Kurang Menguntungkan

Katadata/Agung Samosir
Pembeli sedang memilih barang di pusat perbelanjaan Hypermart di Jakarta. Matahari menutup dua Supermarket grosir.
Penulis: Ekarina
29/4/2019, 18.32 WIB

PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), perusahaan retail modern milik konglomerasi milik Grup Lippo menutup dua gerai grosir SmartClub pada tahun lalu. Penutupan gerai tersebut dilakukan karena dinilai tidak efisien dengan kontribusi margin penjualan yang lebih kecil dibanding  gerai jenis lain milik perusahaan.

Sekretaris Perusahaan Matahari Putra Prima Danny Kojongian mengatakan konsep business to business (B2B) seperti milik gerai SmartClub tidak lagi sesuai dengan model bisnis perusahaan.

Dengan luas area sekitar 5.500 meter persegi dengan  basis pelanggan berasal dari segmen korporat atau perhotelan, perusahaan menilai sulit memperoleh keuntungan  seperti yang diharapkan. "Meskipun gerainya besar, tapi marginnya kecil. Hanya sekitar single digit," katanya di Jakarta, Senin (29/4).

(Baca: Pesta Diskon Pemilu, Peretail Raup Kenaikan Omzet hingga 10 Kali Lipat)

Karenanya, ke depan perusahaan  akan mengurangi eksposur pada bisnis tersebut. Perusahaan akan kembali berfokus pada pengembangan bisnis gerai atau supermarket berformat lebih kecil, moderen dan menjual produk segar berorientasi pelanggan melaui gerai Hypermart, Foodmart, Boston dan FMX. 

Selain itu, mulai tahun ini perusahaan juga akan meluncurkan gerai baru bernama hyfresh untuk melayani segmen komunitas dengan fokus penjualan produk segar dan harga kompetitif. Dengan startegi barunya ini, Matahari berharap bisa mencatat keuntungan di 2019.

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, sepanjang tahun lalu perseroan membukukan penjualan bersih Rp 10,6 triliun. Angka ini turun 15% dibanding periode yang sama tahu  lalu karena berkurangnya intensitas penjualan  di gerai SmartClub. 

Sejalan dengan menurunnya penjualan, perseroan juga membukukan rugi operasi Rp 929 miliar serta kerugian sepanjang tahun Rp 898 miliar, menyusut dari tahun sebelumnya sbear Rp 1,23 triliun. 

Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) menilai penutupan merupakan hal yang wajar di  industri retail untuk menjaga kesehatan finansial perusahaan. Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta menyebutkan umumnya salah satu alasan peretail menutup gerainya karena lokasi yang tidak menjanjikan.

"Kalau tidak efisiensi, toko yang tidak sehat bakal mempengaruhi kepada toko yang sehat," kata Tutum di Jakarta, Rabu (16/1).

(Baca: Ekspansi Gerai, Matahari Store Naikkan Belanja Modal Jadi Rp 1 Triliun)

Selain itu, situasi ekonomi memang sedang lesu secara global dan domestik. Sehingga, perusahaan retail harus menerapkan strategi yang tepat dalam menjalankan bisnis.

Jika situasi membaik, perusahaan retail nantinya biasanya akan kembali membuka gerai baru. Bahkan, Tutum menyebutkan ada penutupan gerai sebanyak 400 unit pada tahun 2018, tetapi hal itu juga diimbangi dengan pembukaan 500 unit gerai baru.

Meski begitu, Aprindo mengingatkan perusahaan retail supaya melakukan strategi yang lebih tepat untuk bisnis ke depan. Sebab, pola konsumsi masyarakat juga berubah dengan kemajuan teknologi.

Dia menekankan, perlakuan bisnis retail untuk pakaian berbeda dengan retail untuk makanan. Diferensiasi bisnis itu juga berbeda dengan retail elektronik. "Sehingga harus ada usaha untuk penyesuaian metode dengan teknologi digital," katanya.

Sebelumnya, PT Hero Supermarket Tbk (HERO) menyatakan menutup 26 gerainya dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 532 karyawan. Setali tiga uang, Central Department Store mengumumkan rencana penutupan gerai di Neo Soho karena sulit berkembang dengan hasil maksimal baik dari segi bisnis maupun komersial.

(Baca: Batasi Penambahan Gerai, The Body Shop Pilih Fokus Penjualan Online)