Mayora Group meneken nota kesepahaman (MoU) terkait pembelian kelapa dan turunannya dengan beberapa perusahaan Filipina serta MoU investasi. Kesepakatan ini diharapkan  memperkuat hubungan perdagangan dan investasi kedua negara, di tengah penerapan special agricultural safeguard (SSG) untuk ekspor produk kopi instan Indonesia di Filipina yang diberlakukan sejak Agustus 2018.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan kopi instan adalah salah satu produk ekspor unggulan Indonesia ke Filipina dan menyumbang devisa bagi Indonesia. "Untuk itu, tugas kami mengamankan akses pasar produk unggulan Indonesia, termasuk kopi instan ke negara tujuan ekspor," kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam keterangan resmi di Filipina, Selasa (2/4).

(Baca: Terganjal Hambatan Dagang, Mayora Bangun Pabrik Rp 987 M di Filipina)

Berdasarkan data BPS, kopi instan merupakan produk ekspor terbesar keempat Indonesia ke Filipina pada 2018 dengan nilai ekspor US$ 367,4 juta (sekitar Rp 5,2 triliun). Secara keseluruhan ekspor produk makanan minuman mencapai US$ 600 juta (Rp 8,5 triliun).

Enggar menyebut, Menteri Perdagangan dan Industri serta Menteri Pertanian Filipina telah sepakat meninjau ulang penerapan SSG untuk
produk kopi instan Indonesia dan akan mendiskusikan secara internal dengan instansi terkait. Bila disetujui, hal ini akan menjadi perkembangan yang positif bagi Indonesia.

Mayora Grup sebelumnya menyatakan mendera kerugian hingga US$ 16 juta atau setara Rp 225 miliar akibat pengenaan hambatan dagang Filipina melalui mekanisme special safeguard duty. Hal ini dilakukan Filipina, karena surplus perdagangan Indonesia lebih besar dibanding negara tersebut.

Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati menjelaskan special safeguard duty merupakan hambatan dagang khusus tanpa investigasi. "Mekanisme ini sudah ada sejak 1995, ketika harga ada di bawah level penetapan khusus, mereka bisa mengenakan safeguard secara otomatis," kata Pradnyawati di Jakarta, Rabu (6/2).

Menurut dia, nilai kerugian yang dialami Mayora merupakan akumulasi biaya masuk sejak hambatan khusus itu diterapkan pada bulan Agustus 2018 lalu. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk melakukan diplomasi ekonomi supaya pihak Filipina bisa mencabut kebijakan tersebut.

(Baca: Mayora Merugi Rp 225 Miliar Akibat Hambatan Dagang Filipina)

Penyebab pengenaan special safeguard duty salah satunya disinyalir akibat surplus perdagangan Indonesia yang terlalu besar sekitar US$ 7 miliar dari Filipina. "Sekarang kami akan memberi akses pasar sebaik mungkin sehingga defisit itu bisa dipersempit," ujarnya.

Sementara itu, Presiden Direktur Mayora Andre Atmadja mengharakan pemerintah bisa terus memperbaiki hubungan bilateral dan diplomasi kedua negara. Dia pun menyebut, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mempercepat pencabutan kebijakan dagang Filipina tersebut.

Berdasarkan catatan Kemendag, pada 2018 total perdagangan bilateral Indonesia dan Filipina mencapai US$ 7,7 miliar, dengan nilai ekspor Indonesia sebesar US$ 6,8 miliar, sementara impor sebesar US$ 0,9 miliar. Sedangkan per Januari 2019, surplus neraca perdagangan Indonesia terhadap Filipina tercatat sebesar US$ 465,24 juta atau meningkat 19,28% jika dibandingkan dengan surplus pada Januari 2018. Ekspor Indonesia ke Filipina didominasi produk mesin dan bagiannya, serta komponen mesin yang mendukung produksi dalam negeri.