Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, menyatakan produk otomotif nasional semakin kompetitif di pasar internasional. Tahun lalu, ekspor mobil Indonesia mencapai 346 unit dengan nilai US$ 4,78 miliar atau sekitar Rp 64 trilun.
Adapun dari total ekspor tersebut, sebanyak 264 ribu unit di antaranya merupakan kendaraan berbentuk utuh (completly build up/CBU), sementara 82 ribu unit sisanya berbentuk rakitan (completly knock down/CKD). "Berdasarkan capaian sebelumnya, tahun ini ekspor ditargetkan bisa menembus 400-450 ribu unit,” kata Airlangga dalam keterangan resmi, Jumat (29/3).
(Baca: Honda Ekspor All New Brio Senilai Rp 1 Triliun ke Vietnam dan Filipina)
Sementara itu, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, selain ekspor mobil, kenaikan juga dialami ekspor komponen kendaraan yang mencapai 86,6 juta pieces pada 2018 atau tumbuh 6,6% dibanding tahun sebelumnya sebanyak 81,2 juta pieces.
Sedangkan dari sisi produksi kendaraan roda empat atau lebih, sepanjang tahun lalu jumlahnya telah mencapai sekitar 1,34 juta unit dengan nilai setara US$ 13,76 miliar. Pada 2020, dia menargetkan produksi kendaraan bisa menembus angka 1,5 juta unit mobil.
Dia pun optimistis industri otomotif di Indonesia bakal terus berkembang . Indonesia bahkan telah menjadi basis produksi beberapa tipe kendaraan seperti jenis MPV, truk, dan pick-up berorientasi ekspor ke pasar global. Ke depan, industri otomotif dalam negeri memiliki target besar menjadi pemasok kendaraan jenis sedan dan SUV.
“Kami terus mendorong agar manufaktur otomotif dalam negeri dapat merealisasikan program pengembangan kendaraan rendah emisi atau Low Carbon Emission Vehicle (LCEV),” ujarnya.
(Baca: Gaikindo: Indonesia Punya Peluang Besar Ekspor Mobil ke Australia)
Melalui program tersebut, pada 2025 produksi kendaraan berbasis energi listrik diharapkan dapat berkontribusi sebesar 20% terhadap total produksi.
“Pada 2030 industri otomotif nasional ditargetkan dapat menjadi basis produksi kendaraan bermotor Internal Combustion Engine (ICE) maupun kendaraan listrik untuk pasar domestik dan ekspor,” katanya.
Insentif Mobil Ramah Lingkungan
Sesuai dengan target jangka panjangnya, pemerintah telah menyiapkan program pengembangan LCEV. Program ini terdiri dari tiga sub program, yaitu Kendaran Hemat Energi Harga Terjangkau (LCGC), kendaraan listrik (electrified vehicle) dan Flexy Engine.
Dalam rangka memperkenalkan program kendaraan ramah lingkungan, menurutnya ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan, seperti terkait penerimaan masyarakat terhadap kendaraan kendaraan listrik, kenyamanan berkendara. Kemudian, infrastruktur pengisian energi listrik, rantai pasok dalam negeri, adopsi teknologi dan regulasi.
Selain itu, pemerintah juga berencana mendukung pengembangan mobil ramah lingkungan dengan sejumlah insentif, baik fiskal maupun nonfiskal.
(Baca: Menteri Keuangan Tunggu Respons DPR-RI Soal Perubahan PPnBM)
Dukungan insentif fiskal, mislanya bisa berupa fasilitas libur pajak atau tax holiday atau mini tax holiday untuk industri komponen utama seperti industri baterai, industri motor listrik (magnet dan kumparan motor). Fasilitas ini dituangkan melalui PMK Nomor 35 tahun 2018 yang direvisi menjadi PMK Nomor 150 tahun 2018 dan dukungan tax allowence bagi investasi baru maupun perluasan.
Selanjutnya, Kemenperin mengusulkan super deductible tax sampai dengan 300 persen untuk industri yang melakukan aktivitas riset,pengembangan dan design (RD&D). Pemerintah juga sedang melakukan harmonisasi PPnBM melalui revisi PP Nomor 41 Tahun 2013 tentang PPnBM Kendaraan Bermotor.
“Regulasinya sedang disusun, insentif fiskalnya sudah disetujui oleh DPR. Jadi, ada penurunan pajak maupun PPnBM," ujar Airlangga.
(Baca: Insentif Pajak Otomotif Dinilai Tak Ideal Kurangi Emisi Karbon)
Fasilitas tersebut rencananya akan diberikan, mengacu pada jumlah emisi yang dihasilkan. Jika rendah, PPPnBM-nya rendah. Sedangkan bila emisi yang dihasilkannya tinggi, PPnBM juga tinggi. Regulasi ini juga dipersiapkan agar industri otomotif nasional bisa memproduksi kendaraan listrik.