Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mempertimbangkan kemungkinan penambahan kriteria berupa kemampuan daerah mendorong ekspor dalam pemberian Dana Insentif Daerah (DID). Namun, ekonom mengingatkan pemerintah agar tidak terburu-buru dalam mengambil kebijakan.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam menyebut pemerintah tampak panik dalam menghadapi neraca perdagangan yang defisit. Neraca perdagangan defisit besar pada tahun lalu setelah tiga tahun berturut-turut berhasil surplus. Penyebabnya, pertumbuhan ekspor yang lemah di tengah lonjakan impor.
"Pemerintah kepenginnya cepat bisa diatasi (defisit neraca dagang)," kata dia kepada katadata.co.id beberapa waktu lalu. Ia sepakat penyehatan neraca dagang memang sangat penting. Namun, upaya penyehatannya tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Sebab, ia khawatir upaya yang dilakukan justru berdampak negatif dalam jangka panjang.
(Baca: Genjot Ekspor, Jaringan Universitas Rekomendasikan 10 Komoditas Unggul)
Secara khusus, pemberian insentif guna mendorong ekspor daerah dinilainya sebagai hal yang baik dan wajar. Namun, pemerintah perlu membuat kriteria dan batasan dalam pemberian insentif tersebut.
Piter menyarankan pemerintah untuk lebih dulu meyusun startegi besar (grand strategy) dalam mendorong ekspor, yang juga memuat peranan daerah di dalamnya. Tanpa grand strategy, dampak negatif diperkirakan dapat terjadi.
Dampak negatif yang dimaksud misalnya, daerah berpotensi gencar dalam mengekspor komoditas hasil hutan yang tidak diproses. Akibatnya, industri domestik dapat mengalami kekurangan pasokan bahan baku. "Ini mengembalikan kita ke zaman dulu," ujarnya.
(Baca: Ekspor Melambat, Neraca Dagang Kuartal I 2019 Diramal Defisit US$ 3 M)
Di sisi lain, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Perdagagan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menilai ide tersebut merupakan hal yang bagus. Namun, masalah utamanya ialah kemampuan daerah dalam menghasilkan produk yang kompetitif untuk ekspor.
"Untuk pengembangan produk baru, banyak yang harus dipersiapkan. Apalagi produk yang siap untuk ekspor. Insentif fiskal saja tidak cukup," kata dia.
Ide Sri Mulyani untuk mengaitkan DID dengan kemampuan daerah mendorong ekspor terinspirasi dari Korea Selatan (Korsel) yang membuat perlombaan peningkatan ekspor di setiap daerah.
(Baca: RI Berpeluang Genjot Ekspor Udang ke Tiongkok dan Uni Eropa)
"Saya jadi bayangin dana insentif daerah kita, saya masukin ekspor sehingga Bupati berlomba-lomba (mendorong ekspor)," kata dia dalam Sarasehan Komoditas Unggulan di Eximbank, akhir Februari lalu.
Menurut dia, Korsel sempat mengalami krisis pada 1997-1998 seperti Indonesia. Saat itu, ekspor Korsel juga mengalami kejatuhan. Namun, Negeri Ginseng tersebut berhasil bangkit dengan mengubah problem menjadi peluang.
Korsel memanfaatkan tikus yang menjadi hama bagi petani untuk diolah kulitnya sehingga menjadi produk ekspor. Korsel pun membuat kompetisi menangkap tikus untuk meningkatkan ekspor.
Selain Korsel, Eropa juga memberikan insentif bagi daerah yang mendorong eskpor. Kebijakan tersebut telah berjalan dari 1970. "Tidak apa-apa kita ikuti sekarang. Better late than not, kan?" ujarnya.