Survei BPS: Rantai Dagang Kian Pendek, Harga Tiga Bahan Pangan Rendah

ANTARA FOTO/Wira Suryantala
Aktivitas di Pasar Kreneng, Denpasar, Sabtu (7/1/2017).
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
15/2/2019, 20.09 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rantai perdagangan beberapa komoditas strategis semakin pendek. Alhasil, kenaikan harga dari produsen kepada konsumen pun semakin berkurang.

Hal itu diketahui berdasarkan survei yang dilakukan BPS terhadap pola distribusi perdagangan. Survei tersebut merangkum pola distribusi barang untuk beras medium, cabai merah, serta daging ayam ras, yang mana ketiganya merupakan produk konsumsi utama masyarakat dan  berperan besar terhadap pembentuk inflasi nasional.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan cakupan wilayah pencatatan adalah seluruh Indonesia dengan respondens tujuh ribu perusahaan.  "(Hasilnya) Semakin efisien rantai perdagangan, harga akan lebih rendah," kata Suhariyanto di Jakarta, Jumat (15/2).

(Baca: Jaga Inflasi Rendah, Menko Darmin Ingin Harga Pangan Dikendalikan)

Menurut BPS, pola distribusi beras di Indonesia melibatkan tiga rantai. Pada 2017,  margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) dari penggilingan ke distributor, hingga ke tingkat pedagang eceran naik 11,83%. Kemudian meningkat 12,09% untuk sampai ke konsumen. Hasilnya, total margin perdagangan dan pengangkutan beras sebesar 25,35% di 2017.

Sementara pada 2016, MPP atau kenaikan harga lebih tinggi yaitu mencapai 26,12%. Sebab, ada peningkatan margin dari distributor ke pedagang eceran. Sementara dari pedagang eceran hingga sampai ke konsumen peningkatnnya justru lebih besar. 

BPS mencatat, sebanyak tujuh provinsi memiliki margin pengangkutan dan perdagangan beras  yang lebih tinggi dibanding rata-rata nasional. Provinsi tersebut yaitu Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat, Aceh, dan Riau. 

(Baca: Kenaikan Harga Khusus Telur dan Ayam Dinilai Tak Efektif)

Tingginya MPP tersebut disebabkan oleh mata rantai perdagangan yang masih banyak serta jalur distribusi yang lebih panjang. "Perlu mempersingkat rantai perdagangan seperti Sulawesi Tenggara yang hanya melibatkan dua rantai perdagangan," ujar Suhariyanto.

Sementara itu, komoditas yang juga memiliki margin perdagangan dan pengangkutan sangat tinggi juga ditorehkan cabai merah dengan MPP sekitar 47,10% pada 2017. Ini dikarenakan perdagangan cabai merah memiliki tiga mata rantai.

Pada 2017, Peningkatan margin cabai dari pedagang grosir kepada pedagang eceran diketahui  sebesar 18,48%. Sedangkan dari tingkat penjual ke konsumen mencapai 24,16%.

Namun, capaian itu masih lebih singkat daripada tahun 2016 yang sebesar 61,05% karena pemangkasan peran pengepul yang mengambil keuntungan sekitar 15,56%. Sehingga, terjadi penurunan margin yang cukup signifikan.

Adapun Kalimantan Selatan dan Bengkulu diketahui sebagai wilayah dengan peningkatan margin cabai merah dengan persentase lebih dari 100%, serta masih banyak provinsi yang lebih tinggi dari rerata nasional. Sedangkan Kepulauan Riau dan Kalimantan Tengah diketahui sebagai wilayah paling efisien dengan margin perdagangan pengangkutan di bawah 20%. "Cabai itu komoditas yang cepat busuk," kata Suhariyanto.

(Baca: Harga Pangan Naik di Musim Hujan, Inflasi Pekan Keempat Januari 0,48%)

Sementara untuk komoditas daging ayam, Suhariyanto mengatakan pola distribusi perdagangan komoditas tersebut paling ringkas karena hanya melalui dua mata rantai, yaitu dari produsen hanya melalui pedagang eceran atau swalayan dan konsumen.

Margin perdagangan ayam ras nasional pada 2017 memperoleh sebesar 24,68%,  turun tipis 0,86% daripada tahun sebelumnya sebesar 25,54%. Adapun pada 2017, pedagang eceran dan swalayan mengambil margin 24,68%, 

Meski begitu, BPS memperlihatkan hanya ada 10 provinsi di Indonesia yang marginnya lebih rendah daripada rata-rata nasional. Sisanya masih memiliki margin lebih tinggi, seperti Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Timur marginnya di atas 50%.

Reporter: Michael Reily