Naik 4,07%, Produksi Industri Manufaktur 2018 Tumbuh Melambat

ANTARA FOTO/M. Risyal Hidayat
Para buruh tengah melinting rokok di pabrik PT Gelora Djaja, Surabaya, Jumat, 6 Januari 2017.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
1/2/2019, 17.28 WIB

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang (IBS) pada 2018 sebesar 4,07%, melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada  2017 yang mencapai 4,74%.

Kepala BPS Suharyanto menyatakan performa industri manufaktur besar dan sedang menghadapi tantangan berat sepanjang 2018. "Perang dagang antara AS dan Tiongkok sangat berpengaruh, ada lagi perlambatan ekonomi negara tujuan ekspor," kata Suharyanto di Jakarta, Jumat (2/1).

(Baca: Gejolak Ekonomi Dunia Bayangi Pencapaian Target Industri 2019)

Lebih lanjut,  dia menjelaskan perlambatan terjadi khususnya pada kuartal empat dengan pertumbuhan hanya 0,90%. Capaian itu jauh lebih rendah daripada pertubuhan produksi IBS pada kuartal III yang sempat menembus 4,19% atau bahkan kuartal I yang tumbuh sebesar 1,21% serta kuartal II dengan realisasi pertumbuhan 1,49%.

Suharyanto mengungkapkan, pertumbuhan industri tertinggi dicapai ektor kulit, barang kulit, dan alas kaki sebesar 18,78%, meskipun pangsanya terhadap total produksi hanya sekitar 1,59%.

Sedangkan industri yang produksinya anjlok paling dalam tercatat pada industri komputer, barang elektronik, dan optik dengan capaian -15,06%. Padahal, pangsanya lebih tinggi daripada kulit, barang dari kulit, dan alas kaki dengan porsi 2,83%.

BPS menyoroti industri makanan yang tumbuh sebesar 7,40% dengan pangsa 25,41% dari keseluruhan produksi, jauh dari target untuk berkembang di atas 8%. "Fluktuasi harga komoditas misalnya CPO sangat berpengaruh pada performa industri manufaktur besar dan sedang," ujar Suharyanto.

Industri Kecil 

Lain halnya dengan industri besar dan menengah  yang tumbuh melambat,  industri manufaktur kecil justru mencatat peningkatan produksi sebesar 5,66%, lebih tinggi dari capaian 2017 yang hanya 3,88%. Meski kapasitasnya jauh lebih rendah, industri kecil punya jumlah unit usaha yang sangat besar sehingga mempunyai dampak langsung kepada perekonomian.

Secara kuartal, capaian industri manufaktur kecil tumbuh 1,24% pada kuartal IV, jauh lebih baik daripada hasil kuartal III yang anjlok -035%. Namun, pertumbuhan itu jauh lebih rendah daripada laju kuartal I dan kuartal II dengan pertumbuhan masing-masing 3,09% dan 1,34%.

Sepanjang 2018, pertumbuhan positif terbesar dalam industri kecil adalah sektor pencetakan dan reproduksi media rekaman sebesar 21,73% dengan kontrubusi mencapai 4,85% terhadap keseluruhan. Meski di sisi lain, terjadi penurunan pertumbuhan cukup mencolok pada industri pengolahan tembakau skala kecil yang minus 47,13% dan mengakibatkan pertumbuhan industri kecil secara keseluruhan menjadi kurang maksimal.

Suhariyanto meminta pemerintah untuk terus meningkatkan daya saing produk manufaktur. "Kalau daya saing naik, nilai tambahnya akan memperbesar kesejahteraan pelaku usaha," katanya. 

(Baca: Jelang Pilpres, Investor Khawatirkan Ekonomi Global Daripada Politik)

Pertumbuhan industri dan dampak kondisi ekonomi eksternal juga sebelumnya mendapat sorotan dari Ekonom Senior Raden Pardede.

Dia mengatakan industri manufaktur tahun ini dibayangi sejumlah tantangan yang berpotensi menghambat pencapaian target pertumbuhan industri 2019 yang dipatok sebesar 5,57%. Tiga hal yang menjadi tantangan pencapaian target industri tahun ini terkait gejolak ekonomi global, ditambah kesiapan industri dalam negeri yang belum kuat.

"Tantangan di industri terpengaruh tiga efek spill over, yaitu gejolak keuangan, penurunan harga komoditas yang mempengaruhi ekspor karena 60% ekspor Indonesia masih berdasarkan komoditas, serta dampak dari perang dagang," katanya di Jakarta, Kamis (31/1).

Pemerintah dinilai perlu memperkuat kebijakan fiskal dan regulasi keuangan negara. Hal itu juga semestinya diikuti dengan upaya kesiapan modal dan investasi dalam negeri.

Reporter: Michael Reily