Faisal Basri: Tingginya Disparitas Harga Gula Membuka Peluang Korupsi

ANTARA FOTO/Dewi Fajriani
Satuan Tugas Ketahanan Pangan Sulawesi Selatan menunjukkan kemasan gula rafinasi ilegal milik UD Benteng Baru, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (22/5).
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
14/1/2019, 18.21 WIB

Alhasil, petani pun semakin enggan menanam tebu akibat harganya menjadi sulit bersaing  dengan produk impor. Apalagi biaya produksi gula semakin mahal karena ongkos sewa tanah dan upah pekerja.

(Baca: Dikritik soal Impor Gula, Mendag: Produksi Tak Cukup Penuhi Kebutuhan)

Menurutnya, ada tiga solusi yang seharusnya pemerintah lakukan. Pertama, merestrukturisasi pabrik gula. Kedua, mengintegrasikan pabrik dengan perkebunan. Terakhir, penghapusan perbedaan standar kualitas gula.

Tiga cara tersebut diharapkan bisa mengoptimalkan produksi gula dalam negeri dan mengurangi impor. Sebab, dalam kebijakan impor, pemerintah selalu beralasan keputusan impor dilakukan karena kurangnya produksi dalam negeri.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita sebelumnya menyatakan keputusan impor sudah berdasarkan analisis kebutuhan masyarakat dengan menghitung jumlah volume produksi dengan kualitas gula untuk kebutuhan industri. "Jumlah produksi gula tidak mencukupi untuk konsumsi, apalagi buat industri," kata dia.

Keputusan impor juga dilakukan dengan pertimbangan kualitas produksi gula dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan industri. Kadar ICUMSA (International Commision for Unifom Methods of Sugar Analysis) gula petani sangat tinggi, sehingga warnanya tidak putih.

Menurut Enggar, rekomendasi impor juga berasal dari Kementerian Perindustrian. Sebagai bahan baku, gula impor dibutuhkan untuk kegiatan proses industri. "Kita saksikan sendiri industri makanan dan minuman punya pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat," kata dia.

Halaman:
Reporter: Michael Reily