Petani Sawit Terpukul Kejatuhan Harga CPO

ANTARA FOTO/Rahmad
Petani merontokkan buah kelapa sawit dari tandannya di Desa Sido Mulyo, Aceh Utara, Aceh, Kamis (26/10). Para pekerja manyoritas kaum perempuan mengaku, dalam sehari mereka mampu memisahkan dan merontokkan biji kelapa sawit sebanyak 250 kilogram dengan upah Rp200 per kilogram atau menerima upah Rp.50 ribu perhari.
Editor: Ekarina
6/12/2018, 13.21 WIB

Petani swadaya terpukul akibat harga minya sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO)  yang terus mengalami tren penurunan hingga November 2018. Hal ini menyebabkan mereka tidak mampu memproduksi sawit, karena harga jualnya rendah sementara biaya produksinya tinggi.

Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit Mansuetus Darto mengatakan selama ini petani swadaya menjual hasil panen sawit kepada tengkulak. Dari  tengkulak, baru kemudian sawit akan dijual kepada perusahaan minyak sawit.

Melalui mekanisne rantai pasokan ini, petani sulit memperoleh keuntungan besar. Apalagi dengan tren harga  minyak sawit mentah yang  terus menurun. Petani swadaya saat ini hanya dapat menjual hasil panen mereka kepada tengkulak dengan harga Rp 500 - 600 per kilogram.

"Sekarang petani jual ke tengkulak semua. Dengan situasi seperti ini, banyak tengkulak mempermainkan harga ke petani," kata Darto di Jakarta, Rabu (6/12).

Gerak petani untuk memasok Tandan Buah  Segar (TBS)  ke pabrik pengolah minyak sawit juga semakin terbatas,  karena tangki CPO di pabrik  banyak yang mengalami kelebihan produksi. Akibatnya, terjadi penumpukan pasokan minyak sawit di pelabuhan.  Pembatasan itu  tidak hanya terjadi untuk petani swadaya, tetapi juga petani plasma yang menjadi mitra perusahaan minyak sawit.

Adapun kebijakan pemerintah menetapkan penghapusan pungutan ekspor sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dari US$ 50 dolar per ton menjadi US$ 0 disebut masih belum terlalu signifikan meredam tekanan yang dialami petani karena  kebijakan itu berlaku jika harga acuan CPO anjlok di bawah US$ 570 per ton. Namun pungutan ekspor juga bakal kembali seperti semula yaitu sebesar 50% jika harga CPO telah melewati batas harga US$ 619 per ton.

(Baca: Darmin Ungkap Alasan Perubahan Batas Harga Pungutan Ekspor Sawit)

Darto menilai pungutan tersebut masih terlalu tinggi, sehingga dapat mempengaruhi keuntungan petani."Pungutan US$ 50 per ton itu masih akan berlaku kalau harga CPOnya tinggi. Harapannya itu tetap ada, tapi jangan terlalu tinggi," kata dia.

Darto menyebut pelemahan harga CPO disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tidak ada kalkulasi ekonomi untuk menghitung permintaan terhadap kebutuhan luas lahan yang akan menjadi sumber pasokan, sehingga produksi sawit terus berlebih. "Tidak ada kalkulasi ekonomi, misalnya dari konteks demand itu analisis demandnya itu berapa, itu bisa dipasok dari berapa luasan," kata dia.

(Baca: Sri Mulyani Terbitkan Aturan Baru Pungutan Ekspor Sawit)

Kedua, tidak adanya tata kelola hutan sawit. Namun dia berharap dengan Instruksi Presiden (Inpres tentang moratorium lahan sawit bisa membenahi tata kelola dan produktivitas petani. Kemudian ketiga, tidak adanya tata kelola Tandan Buah Segar (TBS) Sawit.

Adapun, dari 14,3 juta hektar (ha) luas lahan perkebunan sawit, 30% dimiliki oleh petani swadaya. Sementara itu, dengan optimalisasi program pencampuran minyak sawit 20% dengan solar (B20) pada2019, diharapkan petani segera mendapatkan manfaat dan keuntungan yang layak dari penjualan sawit sebagai bahan baku B20.

Reporter: Fariha Sulmaihati