Pemerintah akhirnya memutuskan untuk membebaskan sementara pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) menjadi US$ 0 dari tarif yang dikenakan sebelumnya sebesar US$ 50 per ton. Hal itu ditetapkan seiring harga komoditas sawit yang terus merosot di pasar internasional.
Menteri Koodinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan telah mengkoordinasikan keputusan pembebasan pungutan ekspor CPO dan turunan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit. "Kami putuskan pungutan ekspor CPO dan turunannya, dengan keadaan harga yang sangat rendah, untuk dinolkan," kata Darmin di Jakarta, Senin (26/11).
(Baca: Harga CPO Rontok, Pendapatan Sawit Sumbermas Diestimasi Turun 5%)
Dia menjelaskan, harga CPO merosot tajam hanya dalam kurun waktu 9 hari. Harga CPO turun dari US$ 530 per ton hingga menyentuh US$ 420 per ton, sementara biaya produksi CPO mencapai US$ 500 per ton.
Pemerintah sedianya berencana mengenakan pungutan ekspor sawit melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2018 yang akan diteken pada 2 Desember 2018. Peraturan Menteri Keuangan itu mengatur pungutan untuk ekspor CPO dan turunannya sebelumnya ditetapkan sebesar US$ 50 per ton, US$ 30 per ton, dan US$ 20 per ton.
Namun, dengan kondisi harga sawit saat ini, untuk sementara pungutan ekspor bakal dibebaskan hingga harga CPO kembali stabil.
Darmin menegaskan, pungutan ekspor bakal dikenakan jika harga CPO telah mencapai US$ 500 per ton dengan pengenaan tarif sebesar US$ 25 per ton, US$ 10 per ton, dan US$ 5 per ton. Pungutan tarif juga bakal kembali seperti semula jika harga CPO di pasar internasional telah mampu melewati US$ 549 per ton.
(Baca: Tiru Indonesia, Malaysia Dorong Permintaan CPO dengan Biodiesel)
Meski demikian, kebijakan itu akan berlaku setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meneken PMK baru. "Sekarang beliau masih di Argentina, rasanya bakal diterbitkan jika sudah kembali pada 2 Desember 2018," ujar Darmin.
Dia menegaskan kebijakan diambil dengan pertimbangan harga yang sangat rendah dalam beberapa tahun terakhir. Karenanya pemerintah menghindari potensi kerugian lebih besar yang diterima para pelaku usaha yang kegiatannya berhubungan dengan sawit, baik itu petani maupun pengusaha.