Pemeritah menyiapkan sejumlah startegi kebijakan untuk mengatasi pelemahan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar dunia. Harga rata-rata CPO dunia melemah sebesar 24% per akhir Oktober menjadi US$ 485 per ton dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 636 per ton.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan ada dua kebijakan yang telah disiapkan pemerintah untuk mengurangi tekanan pelemahan harga CPO dunia. Dari sisi penawaran, pemerintah mengendalikan pasokan dan kualitas produk sawit melalui moratorium kelapa sawit, penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH), kebijakan satu peta, penguatan ISPO, dan penyesuaian pungutan ekspor. Sementara dari sisi permintaan, meliputi optimalisasi B20 dan kebijakan hilirisasi produk kelapa sawit.
"Dua arah kebijakan sektor kelapa sawit ini untuk menjaga daya saing di pasar global," kata Darmin dalam keterangan resmi di Bali, Kamis (1/11).
(Baca: Penurunan Harga CPO Menekan Laba Emiten Sawit Grup Salim dan Astra )
Selain itu, pemerintah juga membuka kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang telah diimplementasikan sejak 13 Oktober 2018. Program ini dioptimalkan untuk memperkuat posisi petani kelapa sawit sebagai salah satu elemen penting dari keberlanjutan sektor kelapa sawit.
Untuk meningkatkan kinerja PSR, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) juga akan menyederhanakan penyediaan dana PSR, dan meningkatkan target pencapaian lahan PSR dari 14.000 hektare menjadi 50.000 hektare hingga akhir November 2018. Saat ini program PSR telah dilakukan di Sumatera Selatan, Sumatera Utara, dan Riau dna ditargetkan terus diperluas di seluruh Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga sedang mengkaji sistem pungutan ekspor guna meningkatkan hilirisasi produk kelapa sawit. Adapun untuk mengatasi kampanye hitam di pasar global, pemerintah membentuk Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) bersama Malaysia untuk menjaga daya saing secara kolektif di pasar global dan menyelesaikan kendala perdagangan di beberapa negara destinasi ekspor, seperti India, Pakistan, Cina, Eropa, dan Afrika.
Dalam sambutannya di acara 14th Indonesian Palm Oil Conference and 2019 Price Outlook di Bali, Darmin juga menyinggung soal komitmen pemerintah dalam membina kinerja sektor kelapa sawit secara strategis sesuai tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals /SDGs) 2015-2030. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan daya tawar dalam jangka panjang secara nasional maupun global. Hal ini sekaligus menegaskan peran sawit dalam perekonomian negara.
(Baca: Permintaan Global Belum Membaik, Gapki Estimasi Ekspor CPO Turun 5%)
"Sawit penting sebagai penghasilan devisa, pengembangan komoditas dengan keunggulan komparatif, dan kontribusi positif terhadap pendidikan dan kesehatan," kata Darmin pada saat acara Indonesian Palm Oil Conference di Bali, Kamis (1/11).
Menurutnya, pemerintah akan terus mendorong sektor kelapa sawit sejalan dengan prinsip berkelanjutan. SDGs dan juga menjadi panduan negara internasional dalam implementasi ekonomi berkelanjutan.
Berdasarka data Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), elastisitas produksi kelapa sawit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 2,46%. Alhasil, setiap kenaikan 1% produksi kelapa sawit akan memberikan efek multiplier peningkatkan 2,46% dari total pendapatan nasional. Tahun 2017, kinerja ekspor sawit meningkat sebesar 25,73% menjadi Rp 307 triliun dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, penguatan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) masih mengkaji adopsi nilai SDGs 2015-2030 dalam prinsip dan kriterianya. Sejauh ini, ISPO sudah mengadaptasi 12 dari 17 tujuan dari SDGs 2015-2030, terutama pertumbuhan inklusif dan pengentasan kemiskinan.
Darmin menekankan, masih banyak ruang untuk adopsi nilai-nilai SDGs 2015-2030 ke dalam prinsip dan indikator ISPO kedepan. "Keberlanjutan menjadi kata kunci yang harus dilaksanakan pada pengembangan sektor kelapa sawit” ujarnya.