Permintaan Global Belum Membaik, Gapki Estimasi Ekspor CPO Turun 5%

Michael Reily
8 Agustus 2018, 17:45
Kelapa sawit
Arief Kamaludin|KATADATA
Buah kelapa sawit hasil panen di salah satu perkebunan di Riau.

Gabungan Pengusaha  Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprediksi ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO)  sepanjang tahun ini turun 5%.  Sikap pesimistis tersebut salah satunya didasari  oleh realisasi  capaian ekspor merosot 6% pada semester I 2018 menjadi 14,16 juta ton, sementara pada  periode yang sama tahun 2017 sebesar 15,04 juta ton.

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Gapki Togar Sitanggang mengatakan target peningkatan ekspor sawit tahun 2018 sebesar 10% kemungkinan tidak tercapai. Tahun lalu, ekspor tercatat tumbuh 23,6% menjadi 31,05 juta ton. “Kami melihat ada pengurangan sebesar 5% kecuali ada peristiwa katastrofe global sehingga permintaan sawit bisa diperbaiki dengan cepat,” kata Togar di Jakarta, Rabu (8/8).

Dia mengungkapkan permintaan sawit global pun hingga saat ini masih belum menunjukkan potensi perbaikan. Alasannya, India masih menerapkan bea masuk yang tinggi untuk melindungi  petani kedelai negaranya, sementara Uni-Eropa mulai mengurangi pemakaian biodiesel.

(Baca : Perang Dagang Berpotensi Memukul Ekspor Komoditas Andalan)

Permintaan global yang melemah juga menyebabkan harga CPO tidak pernah menembus angka US$ 700 per ton. Tercatat, pada semester I 2018, rata-rata harga sawit berada pada kisaran US$ 605 hinggaUS$ 695 per ton.

Togar menjelaskan, sebagai kontributor terbesar ekspor, penurunan kinerja CPO tentu akan berpengaruh terhadap neraca perdagangan Indonesia. “Kemungkinan defisit, karena ekspor sawit tahun ini tidak lebih besar daripada tahun lalu,” ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan, penurunan ekspor semester I 2018 disebabkan oleh menurunnya permintaan CPO dari beberapa negara tujuan utama ekspor sawit RI.

Gapki mencatat, ekspor CPO pada  semester pertama ke India anjlok 34% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yaitu dari 3,74 juta ton menjadi 2,50 juta ton. "Penyebabnya antara lain karena pengenaan bea masuk sawit yang tinggi untuk melindungi industri pengolahan di sana," kata Mukti, akhir bulan lalu.

Halaman:
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...