Sejumlah pelaku industri menyoroti tindak pengamanan perdagangan internasional yang berperan besar terhadap penguatan industri dalam negeri. Sementara itu, kebijakan pemerintah dalam pengamanan atau safeguard produk dalam negeri sendiri dinilai belum bisa diterapkan optimal karena prosedur yang berbelit sehingga industri domestik kerap tertinggal dan kalah saing dengan produk impor.
Salah satu industri yang kerap menghadapi tantangan ini adalah industri baja. Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Yerry Indroes mengatakan produksi baja dalam negeri baru mencapai 50% dari total kapasitas produksi. Namun, industri baja langsung menghadapi persaingan akibat banyaknya produk besi dan baja impor yang masuk tanpa perlindungan pemerintah.
(Baca: Argentina Hentikan Penyelidikan Antidumping Serat Poliester Indonesia)
"Bea masuk anti-dumping itu hak industri dengan (memberi) laporan kepada pemerintah," katanya di Jakarta, Selasa (30/10).
Misalnya pada produk impor yang bahan bakunya beralih dari karbon ke boron. Perubahan bahan baku itu membuat produk luar negeri tak lagi mendapatkan fasilitas bea masuk dari yang semestinya diterima sebesar 13%.
Namun begitu dia agak menyayangkan proses penyelidikan anti-dumping masih memakan waktu lama karena harus menunggu regulasi tarif dari Kementerian Keuangan. Padahal, sektor industri di satu sisi, masih bisa memenuhi kebutuhan domestik.
Dia pun berpendapat, bahwa di tingkat kementerian belum memiliki kesamaan meski proses penyelidikan anti-dumping pada tingkat Kementerian Perdagangan menurutnya relatif cepat. "Tetapi ada ketidaksamaan persepsi pada regulator," ujar Yerry.
Hal senada juga diungkap Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo). Pengusaha tepung terigu berbahan baku impor gandum tersebut mengatakan kerap mendapat masalah ketika mengimpor produk dari India.
Padahal, keputusan pelaksanaan bea masuk anti-dumping sudah selesai pada level Kementerian Perdagangan tahun 2016. Namun, keputusan untuk pengenaan bea masuk dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan tak juga terbit.
Perwakilan Aptindo, Yosafat Siregar mengungkapkan industri tepung terigu yang mencakup 28 industri mampu memenuhi 95% konsumsi dalam negeri. "Sampai sekarang belum ada pelaksanaan karena berbagai pertimbangan," kata Yosafat.
Tuduhan Dumping
Mengutip data Kementerian Perdagangan, Indonesia merupakan negara yang kerap terkena tuduhan antidumping. Tercatat sejak 1995 hingga 2017, Indonesia mengalami 208 kali tuduhan antidumping dari mitra dagang dan dikenakan bea masuk antidumping sebanyak 130 kali.
Meski begitu, Indonesia hanya melakukan 136 kali tuduhan antidumping dan pengenaan bea masuk antidumping sebanyak 63 kali. Angka itu jauh di bawah kebijakan proteksi dagang yang dilakukan India, Amerika Serikat, Uni-Eropa, Brazil, Argentina, dan Tiongkok yang telah mengenakan bea masuk antidumping sebanyak lebih dari 200 kali.
Direktur Pengamanan Perdagangan Internasional, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Pradnyawati, mengungkapkan salah satu permasalahan utama ada pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang tindakan antidumping, tindakan imbalan, dan tindakan pengamanan perdagangan.
(Baca : Pemerintah Kaji Usulan Penghentian Bea Masuk Anti Dumping Tinplate)
Pradnyawati menjelaskan proses di World Trade Organization (WTO) memakan waktu hingga 18 bulan untuk penyelidikan sampai penetapan kebijakan antidumping. Sementara proses di Indonesia harus menunggu lagi kajian dari Kementerian Keuangan yang dilanjutkan lagi dengan proses tinjauan dari Kementerian Perdagangan.
Padahal, industri dalam negeri yang kesulitan bersaing dengan produk impor terus berharap adanya tindakan pengamanan untuk melindungi produksinya. "Seharusnya ada penguatan regulasi pada level legislatif," ujar Pradnyawati.
Ketua Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi menekankan bahwa regulasi itu pun membuat para pengusaha akhirnya pasrah terhadap kebijakan pemerintah. Tren tersebut terlihat dari fenomena berkurangnya laporan untuk inisiasi penyelidikan antidumping produk impor.
Data KADI, inisiasi penyelidikan berkurang hingga 52% setiap tahun sejak 2014. Pada 2014, inisiasi penyelidikan hanya dilakukan sebanyak 12 kali. Kemudian tahun 2015 turun menjadi 6 kali. Tahun 2016, penyelidikan naik sedikit menjadi 7 kali. Namun, tahun lalu hanya terjadi 1 kali inisiasi penyelidikan.
(Baca : Produsen Kaleng Keberatan Bea Masuk Anti-Dumping Tinplate Diperpanjang)
Bachrul mengungkapkan banyak penyelidikan peninjauan ulang (sunset review) yang dilakukan, namun hasilnya tahun ini tak ada inisiasi penyelidikan. "Indonesia menjadi anak yang baik dalam perdagangan internasional," katanya.
Padahal, pada tahun yang sama, pemanfaatan instrumen antidumping pada Ukraina, AS, Tiongkok, Jepang, Kanada, Korea Selatan, dan India tumbuh lebih dari 30%. Pada negara berkembang seperti Maroko dan Argentina, trennya juga naik di atas 20%.
Menaggapi masalah prosedur penetapan kebijakan yang dialamatkan ke pihaknya, Kepala Pusat Pendapatan Kebijakan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Rofyanto Kurniawan pun menyebut penetapan PMK antidumping memang harus mempertimbangkan banyak aspek. "Bukan hal yang mudah karena ada banyak pandangan," ujar Rofyanto.
Menurutnya, Kementerian Keuangan harus melihat aturan itu berlaku secara umum supaya bea masuk antidumping tak bertabrakan. Selain itu, industri hulu dan industri hilir masih banyak perbedaan pendapat sehingga sulit melahirkan solusi yang tepat bagi semua pihak.
Sementara itu, dia juga beralasan banyak para pelaku usaha belum memiliki data yang lengkap sehingga kebijakannya mesti menunggu masukan dari berbagai pihak. Karenanya, untuk melahirkan keputusan pemerintah yang tepat pihaknya memerlukan kerja sama dari seluruh pihak."Kalau semua pihak terbuka, tidak perlu menunggu lama," kata Rofyanto lagi.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengungkapkan para pelaku usaha harus satu suara dalam penentuan kebijakan perlindungan industri dalam negeri. Namun, dia meminta pemerintah lebih aktif melakukan sosialisasi.
Contohnya dalam pemanfaatan perdagangan bebas bilateral kepada pelaku usaha. Selain itu, pemerintah juga mesti melakukan kajian untuk kebutuhan dalam negeri. "Pelaku usaha butuh komitmen dari pemerintah terutama dalam penguatan regulasi," ujar Benny.