Kebijakan pemerintah terkait penyesuaian tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap 1.147 barang konsumsi dari luar negeri dinilai tidak akan berdampak signifikan terhadap penurunan angka impor. Sebab, impor barang konsumsi saat ini hanya berkontribusi sekitar 9% terhadap total impor non migas Januari-Juli 2018 (year-to-date).
Ekonom Instute For Development of Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adinegara mengatakan kebijakan pengendalian impor terhadap 1.147 barang konsumsi disebutnya sebagai kebijakan yang "malu-malu" atau kebijakan yang serba tanggung karena efeknya terhadap penerimaan negara tidak cukup besar dan penurunan desfisit neraca dagang juga tak signifikan. "Apalagi komoditas itu sebelumnya sudah banyak dikendalikan," kata dia kepada Katadata.
(Baca : Pajak Impor Ribuan Barang Konsumsi Naik Hingga 7,5%)
Pengendalian impor akan berdampak siginifikan, menurutnya jika menyasar komoditas impor dari proyek infrastruktur pemerintah atau BUMN, baik yang sudah financial closing maupun belum.
"Jangan sampai impor bahan baku kecolongan di sana, khususnya besi baja. Sebab itu yang substansial, jika bisa dikurangi maka bisa menghemat dolar," ujar Bhima.
Pembatasan barang-barang impor kebutuhan infrastruktur satu sisi memang bisa menjadi pil pahit yang akan berdampak terhadap tertundanya proyek infrastruktur. Namun, jika hal itu sulit, opsi lain yang menurutnya bisa dilakukan misalnya dengan menaikan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) produk pada proyek infrastruktur pemerintah dari 30% menjadi dua kali lipat atau sekitar 60%-70%.
Menurut kajiannya, jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Januari-Juli 2018 mesin tiga komponen yang terkait dengan dengan proyek infrastruktur khususnya pembangkit listrik berkontribusi cukup besar terhadap impor seperti, mesin dan pesawat mekanik US$ 15,2 miliar, mesin dan pewalatan listrik US$ 12,1 miliar dan besi baja US$ 5,6 miliar. Adapun total nilai impor ketiganya pada Januari-Juni 2018 mencapai sebesar US$ 32,9 miliar.
"Jika asumsinya tiga jenis impor tersebut bisa dihemat 30 %, devisa yang bisa diselamatkan US$ 9,8 miliar. Bahkan lebih besar dari penghematan B20 yang diklaim US$ 2,3 miliar atau nilai 1.147 komoditas impor per Januari-Agustus 2018 sebesar US$ 5 miliar," kata dia.
(Baca juga : Kenaikan Tarif PPh Impor Berpotensi Picu Lonjakan Harga)
Meski kebijakan pembatasan impor terkesan darurat dilakukan untuk membantu pemulihan defisit transaksi berjalan dan nilai tukar rupiah, namun Bhima mencatat ada sejumlah kekhawatiran yang turut membayangi kebijakan pembatasan tersebut.
Misalnya, terkait potensi retaliasi dari negara pengimpor karena pasarnya terancam terhambat. Selain itu, pembatasan impor barang konsumsi juga ada kekhawatiran terkait dampaknya terhadap inflasi ataupun pemutusan hubungan kerja (phk) khususnya pada beberapa peretail atau distributor kecil karena harga barang menjadi mahal.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan peraturan menteri terkait pembatasan impor sejumlah 1.147 barang konsumsi melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2018. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pembatasan impor tersebut bertujuan memperbaiki defisit neraca perdagangan. Penerapannya berlaku efektif tujuh hari setelah peraturan ditandatangani pada Rabu (5/9).
"Kami mengidentifikasi barang-barang apa saja yang bisa kami kendalikan. Kami detilkan penelitian agar (pembatasan impor) tak pengaruh ke perekonomian," katanya, di Jakarta, Rabu (5/9).
Sementara Menteri Perindustrian Airlangga Hartato menyebutkan pengendalian impor menjadi momentum dan bentuk keberpihakan pemerintah guna memacu produktivitas dan daya saing industri nasional. Penerapan PPh 22 akan dibedakan berdasarkan sifat produk yang digunakan oleh industri hulu, antara, atau hilir dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan produksi dan perkembangan industri nasional. “Prinsipnya, kalau belum diproduksi di dalam negeri, kami tidak utak-atik, seperti bahan baku untuk industri farmasi,” ujarnya, Jumat (7/9).
(Baca juga: Menkeu Sri Mulyani: Kestabilan Harga Bikin Agustus Deflasi)
Adapun, hasil tinjauan terhadap penyesuaian tarif PPh Pasal 22 ini dilakukan melalui instrumen fiskal, yang mana sebanyak 210 item komoditas yang sebelumnya dikenakan tarif PPh 22 sebesar 7,5% naik menjadi 10% untuk barang mewah, termasuk mobil impor utuh (CBU) bermesin di atas 3.000 cc dan sepeda motor bermesin besar (di atas 500 cc).
Selanjutnya, 218 item dengan tarif PPh awal 2,5% naik menjadi 10%, meliputi barang konsumsi yang sebagian besar bisa diproduksi di dalam negeri, seperti barang elektronik, produk keperluan sehari-hari (sabun, sampo, dan kosmetik), serta peralatan masak dan dapur.
Sisanya, 719 item dari tarif PPh 22 yang 2,5% naik menjadi 7,5%, berupa barang yang digunakan dalam proses konsumsi dan keperluan lainnya. Contoh komoditasnya antara lain bahan bangunan (keramik), ban, peralatan elektronik audio-visual, dan produk tekstil.
Pengendalian keran impor dengan menaikan tarif PPh bukan pertama kali dilakukan pemerintah. Kebijakan serupa diterapkan pada 2013 melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 175/PMK.011/2013. Beleid ini merespons taper tantrum. Kala itu PPh Pasal 22 untuk 502 komoditas konsumsi naik dari 2,5% menjadi 7,5%.
Pada 2015, kebijakan tersebut berlanjut dengan dipayungi PMK Nomor 107/PMK.010/2015. Peraturan ini mengatur kenaikan PPh Pasal 22 atas 240 barang konsumsi dari 7,5% menjadi 10%. Ratusan komoditas tersebut merupakan produk yang PPNBM-nya (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) dihapus.