Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memprediksi ekspor minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) sepanjang tahun ini turun 5%. Sikap pesimistis tersebut salah satunya didasari oleh realisasi capaian ekspor merosot 6% pada semester I 2018 menjadi 14,16 juta ton, sementara pada periode yang sama tahun 2017 sebesar 15,04 juta ton.
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Gapki Togar Sitanggang mengatakan target peningkatan ekspor sawit tahun 2018 sebesar 10% kemungkinan tidak tercapai. Tahun lalu, ekspor tercatat tumbuh 23,6% menjadi 31,05 juta ton. “Kami melihat ada pengurangan sebesar 5% kecuali ada peristiwa katastrofe global sehingga permintaan sawit bisa diperbaiki dengan cepat,” kata Togar di Jakarta, Rabu (8/8).
Dia mengungkapkan permintaan sawit global pun hingga saat ini masih belum menunjukkan potensi perbaikan. Alasannya, India masih menerapkan bea masuk yang tinggi untuk melindungi petani kedelai negaranya, sementara Uni-Eropa mulai mengurangi pemakaian biodiesel.
(Baca : Perang Dagang Berpotensi Memukul Ekspor Komoditas Andalan)
Permintaan global yang melemah juga menyebabkan harga CPO tidak pernah menembus angka US$ 700 per ton. Tercatat, pada semester I 2018, rata-rata harga sawit berada pada kisaran US$ 605 hinggaUS$ 695 per ton.
Togar menjelaskan, sebagai kontributor terbesar ekspor, penurunan kinerja CPO tentu akan berpengaruh terhadap neraca perdagangan Indonesia. “Kemungkinan defisit, karena ekspor sawit tahun ini tidak lebih besar daripada tahun lalu,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan, penurunan ekspor semester I 2018 disebabkan oleh menurunnya permintaan CPO dari beberapa negara tujuan utama ekspor sawit RI.
Gapki mencatat, ekspor CPO pada semester pertama ke India anjlok 34% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yaitu dari 3,74 juta ton menjadi 2,50 juta ton. "Penyebabnya antara lain karena pengenaan bea masuk sawit yang tinggi untuk melindungi industri pengolahan di sana," kata Mukti, akhir bulan lalu.
Selain itu, ekspor sawit RI pada semester I 2018 ke kawasan Uni Eropa. Isu deforestasi dan kebijakan penghapusan biofuel berbasis pangan oleh Parlemen Eropa diperkirakan turut mempengaruhi permintaan minyak sawit Indonesia di sana.
(Baca : BI Sebut Perang Dagang Ganggu Laju Ekonomi dan Picu Kenaikan Bunga AS)
Gapki mencatat, ekspor ke Uni Eropa pada semester I tahun ini turun 12% menjadi 2,39 juta ton dari 2,71 juta ton per semester I 2017. Penurunan kinerja impor untuk periode yang sama juga terjadi di beberapa negara di benua Afrika sebesar 10%. Namun demikian, ekspor CPO Indonesia pada semester I justru mengalami peningkatan, khususnya ke Tiongkok dan Amerika Serikat (AS).
Menurut Mukti, ekspor CPO ke Tiongkok pada Januari-Juni 2018 naik 23% menjadi 1,82 juta ton dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu sebesar 1,48 juta ton.
“Kenaikan volume ekspor minyak sawit ke Tiongkok karena adanya penurunan pajak pertambahan nilai untuk minyak nabati dari 11% menjadi 10% yang efektif berlaku sejak 1 Mei 2018,” ujar Mukti.
(Baca juga: Soal Ancaman Tarif, Indonesia Siap Lobi AS dan Tempuh Jalur Negosiasi)
Sementara untuk ekspor minyak sawit ke AS pada semester pertama 2018 juga membukukan kenaikan sebesar 68,38 ribu ton setara 13% menjadi 611 ribu ton dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 542 ribu ton.
Selain AS dan Tiongkok, kenaikan ekspor minyak sawit Indonesia pada semester pertama 2018 juga terjadi di Bangladesh sebesar 31%, Paskistan 7%, dan Timur Tengah 4%.