Penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah belum banyak membantu kenaikan kinerja ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO). Penyebabnya, pelemahan permintaan yang disertai penurunan harga jual sawit dunia telah memberi tekanan lebih besar terhadap kinerja industri sawit sepanjang semester I lalu.
“Dampaknya (penguatan dolar AS) belum terasa, biaya pengiriman juga ikut naik,” kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono, Kamis (19/7)
Mukti juga mengatakan stok minyak nabati yang melimpah telah menyebabkan harga sawit melemah. Misalnya AS yang sudah mulai panen kedelai dan Uni-Eropa yang mulai banyak memroduksi rape seed dan sunflower. Tak mau ketinggalan, Tiongkok sebagai negara produsen minyak nabati pun diketahui sudah mulai menyimpan pasokan untuk mengantisipasi dampak perang dagang.
(Baca : Ekspor Sawit Mei Turun Tertekan Kenaikan Stok Minyak Nabati Dunia)
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor minyak nabati semester pertama 2018 sebesar 14,2 juta ton, turun 5,99% dibandingkan periode yang sama 2017 dengan volume 15,1 juta ton. Sementara, nilai ekspornya juga anjlok 14,08% dari US$ 11,4 miliar menjadi US$ 9,87 miliar.
Dia berharap musim dingin di AS dan Uni-Eropa pada semester kedua dapat memicu peningkatan permintaan komoditas sawit. Dengan begitu, harga jual sawit diharapkan bisa ikut membaik dan ekspor turut meningkat.
“Mudah-mudahan harga tidak turun sampai di bawah US$ 600 per ton seperti 2015,” ujar Mukti.
Selain itu, serapan minyak sawit juga diharapkan terus meningkat sejalan dengan program penggunaan biodiesel dalam negeri, termasuk dalam program perluasan penggunaan biodiesel untuk sektor non-Public Service Obligation (PSO).
Untuk ekspor ke Tiongkok, Gapki berharap langkah diplomasi pemerintah diharapkan dapat mendorong peningkatan ekspor, seperti perjanjian dengan Tiongkok terkait impor sekitar 500 ribu ton CPO.
(Baca : Volume Ekspor Sawit Triwulan I Turun Dampak Hambatan Dagang)
Di samping itu, penetrasi pasar ekspor ke sejumlah kawasan nontradisional juga terus di genjot seperti Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, dan Timur Tengah. Oleh karena itu, Mukti optimistis kinerja ekspor tahun 2018 bisa lebih baik. “Setidaknya sama seperti tahun lalu,” katanya.
Data Gapki, ekspor minyak sawit Indonesia pada 2017, di luar ekspor biodiesel dan oleochemical, tercatat tumbuh 23,6% menjadi 31,05 juta ton dari 25,11 juta ton pada 2016. Sementara nilai ekspor minyak sawit pada 2017 mencapai US$ 22,97 miliar, meningkat 26% dibandingkan 2016 sebesar US$ 18,22 miliar.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kementerian Perdagangan Arlinda mengatakan, sebagai upaya mendorong kinerja ekspor, pemerintah akam tetap memperkuat negara tujuan ekspor utama, selain meningkatkan perdagangan ke pasar nontradisional.
“Kalau diam dan tidak melakukan sesuatu, sulit dalam situasi perdagangan ekonomi global sekarang,” ujar Arlinda.
(Baca: Atasi Hambatan Ekspor,Gapki Minta Pemerintah Perkuat Perjanjian Dagang).