JK Harap Penerapan Industri 4.0 Perhatikan Penyerapan Tenaga Kerja

ANTARA FOTO/Risky Andrianto
Pekerja menyelesaikan proses perakitan bodi mobil di pabrik PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Karawang, Jawa Barat, Kamis (29/3/2018). Toyota Manufacturing salah satu pabrik yang menerapkan industri 4.0.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
7/6/2018, 12.12 WIB

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menilai penerapan revolusi industri 4.0 tak bisa langsung disikapi dengan perubahan sistem otomasi di seluruh lini. Menurut Kalla, penerapan industri 4.0 perlu mempertimbangkan penyerapan tenaga kerja dan dampak ekonomi.

Kalla mengatakan, ketika sistem automasi secara penuh diterapkan, maka semua pekerja bisa saja diisi dengan robot. Hal itu dikhawatirkan kemudian akan berimbas kepada hilangnya lapangan pekerjaan di masyarakat.

Menurut Kalla, hal tersebut lantas membuat produk yang dihasilkan industri tak dibeli oleh masyarakat. Sebab, masyarakat tak lagi memiliki penghasilan.

“Apabila tak ada yang berpenghasilan, siapa membeli barang yang dihasilkan oleh robot atau otomasi?” ujar Kalla di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (7/6).

(Baca juga: Begini Proses Revolusi Industri 4.0 Diterapkan Perusahaan Skala Besar)

Kalla menilai, Indonesia tak bisa disamakan karakteristiknya dengan negara lain yang telah menerapkan sistem otomasi secara penuh, seperti Jepang. Menurutnya, Jepang dapat menerapkan sistem otomasi penuh lantaran menjadi negara yang penduduknya banyak berusia tua.

Sekitar sepertiga penduduk Jepang merupakan orang tua yang berusia 65 tahun ke atas. Hal ini kemudian berimbas terhadap sedikitnya jumlah tenaga kerja produktif di Jepang. Dengan begitu, kekurangan tenaga kerja di Jepang itu diantisipasi dengan sistem otomasi dan robotik.

Selain itu, kebutuhan dasar masyarakat juga harus tetap diperhatikan meski menerapkan revolusi industri 4.0. Kalla menilai, meski saat ini Indonesia mau menerapkan industri 4.0, diskusi mengenai bahan pangan sepeti beras masih terus bergulir.

“Antara kemajuan dan kebutuhan dasar tetap menjadi bagian dari ekonomi ini,” kata Kalla.

(Baca juga: Buruh Khawatirkan Dampak Penerapan Industri 4.0)

Untuk bisa menyeimbangkan penerapan revolusi industri 4.0 dengan berbagai kebutuhan Indonesia, Kalla menilai perlu adanya revolusi mental, terutama dari pemerintah.

Di satu sisi, perlu perubahan sikap, pengetahuan, cara bertindak sekaligus pemahaman mengimplementasikan teknologi digital termutakhir yang relevan dengan kebutuhan industri. Sehingga revolusi industri 4.0 dapat memberi hasil yang lebih baik, cepat, dan murah.

Di sisi lain, pemerintah juga tetap harus memperhatikan peranan manusia sebagai pekerja dari berbagai perubahan itu. “Kami harus menggabungkan hal-hal tersebut untuk menjadikan suatu sikap atau menjadi ciri kebangsaan kita,” kata Kalla.

Kementerian Perindustrian meluncurkan peta jalan (roadmap) industri bertajuk Making Indonesia 4.0 pada awal April lalu. Roadmap ini dibuat sebagai langkah pemerintah dalam membangun industri manufaktur yang berdaya saing global dalam percepatan implementasi industri 4.0 memasuki era digital.