Rupiah Melemah, Pengusaha Tahan Harga Makanan & Minuman Hingga Lebaran

ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin
Proses produksi industri makanan dan minuman di Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo, Rabu (13/9/2017).
Penulis: Yuliawati
26/5/2018, 10.48 WIB

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus berlanjut sejak akhir Januarii lalu hingga  melewati Rp 14 .000 pada Mei ini. Meski mengalami tekanan, pengusaha belum akan menaikkan harga jual produk
makanan dan minuman hingga hari raya Idul Fitri pada pertengahan Juni mendatang.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia ( Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan meski pengusaha mengalami pukulan atas pelemahan rupiah, mereka masih dapat menahan harga. Sebagian besar pengusaha sudah menyetok bahan baku dan bahan jadi sebelum Maret.

"Saat ini masih bertahan untuk tidak menaikkkan harga produk, nanti setelah lebaran akan kami evaluasi kembali," kata Adhi saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (25/5).

(Baca juga: Pelemahan Rupiah Menekan Industri Makanan dan Minuman)

Adhi mengatakan harga pada momen bulan puasa Ramadhan dan Lebaran tetap dijaga karena permintaan produk makanan dan minuman sedang meningkat. Selain itu, apabila harga produk makanan dan minuman mengalami kenaikan, dikhawatirkan akan mempengaruhi daya beli dan merusak permintaan.

"Pengusaha sengaja memberikan harga yang bagus, karena berharap besar terhadap peningkatan penjualan pada momen Ramadhan dan Lebaran," kata dia.

Adhi mengatakan apabila pelemahan rupiah terhadap dolar AS terus berlanjut dalam rentang Rp 14.500-15.000, harga produk makanan dan minuman diperkirakan naik 3-7%.

Saat ini industri makanan dan minuman masish bergantung impor baik berupa bahan baku dan bahan jadi maupun kemasan plastik dan kaleng. Produk-produk ini mengalami kenaikan seiring melemahnya rupiah dan meningkatnya harga minyak dunia.

(Baca juga: Janjikan Insentif, Pemerintah Dorong Industri Makanan Lebih Inovatif)

Adhi mengatakan, selain menaikkan harga sebenarnya pengusaha masih memiliki opsi menyesuaikan diri dari pelemahan rupiah. Opsi yang dapat dipertimbangkan yakni mengubah kemasan menjadi ukuran lebih kecil tanpa menaikkan harga atau menggunakan bahan baku dan bahan jadi dari pasar lokal.

Namun kedua opsi tersebut tak mudah diimplementasikan. "Mengubah ukuran akan perlu izin dari BPOM," kata dia.
Sementara mengganti bahan baku dan bahan jadi yang lebih murah menjadi tantangan sendiri karena perlu riset dan formula sehingga tidak mengubah cita rasa makanan. "Konsumen juga belum tentu cocok," kata dia.

Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga saat ini belum mempengaruhi bisnis perusahaannya. Franciscus mengatakan Indofood telah mengantisipasi dampak pelemahan nilai tukar rupiah dengan manajemen resiko perusahaan.

"Pelemahan rupiah ini terjadi secara bertahap dan tidak langsung melonjak signifikan. Selain itu kami di perusahaan biasanya sudah memiliki manajemen resiko untuk mengantisipasi hal tersebut," kata Franciscus.

(Baca juga: Industri Makanan dan Minuman Tolak Usulan Bea Masuk Bahan Baku Plastik)

Sementara itu Direktur PT MAP Boga Adiperkasa Tbk (MAPB) Boga Fetty Kwartati mengatakan kemungkinan MAP akan menaikkan harga jual karena pelemahan nilai tukar rupiah cukup menekan perusahaan.

"Depresiasi rupiah diatas Rp 14.000 dapat berdampak terhadap harga jual produk," kata Fetty Kwartati, beberapa waktu lalu. Namun, dia tidak merinci seberapa besar kenaikan harga jual yang akan diterapkan perusahaan.

MAP Boga merupakan pemilik lisensi jaringan gerai Starbucks, Cold Stone, Pizza Marzano, Krispy Kreme Doughnut dan Godiva di Indonesia.