Ekspor Biodiesel ke AS Berpotensi Terganggu Hingga 5 Tahun

Arief Kamaludin | Katadata
Biodiesel murni dan campuran solar dengan kadar 10 dan 20 persen.
Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
25/4/2018, 11.06 WIB

Penerapan bea masuk anti-dumping biodiesel oleh Amerika Serikat (AS) berpotensi menghambat ekspor Indonesia hingga  lima tahun ke depan. Hal itu dapat terjadi seiring dengan lamanya upaya pemulihan perdagangan biodiesel ke AS, salah satunya lewat gugatan Indonesia ke Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO).

International Trade Commission AS pada 19 April 2018 telah resmi mengumumkan pengenaan bea masuk sebesar 126,97% sampai 341,38% untuk biodisel lewat skema anti-dumping dan countervailing duty.

Direktur Pengamanan Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Pradnyawati menjelaskan pemerintah sedang berkoordinasi untuk mengajukan gugatan ke Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO).

“Berkaca pada kasus pembelaan biodiesel terhadap kebijakan Uni-Eropa di forum DSB WTO dan pengadilan lokal yang memakan waktu kurang lebih lima tahun dan akhirnya dimenangkan oleh Indonesia,” kata Pradnyawati kepada Katadata, Selasa (24/4).

Keputusan International Trade Commission AS juga merupakan kelanjutan simpulan Department of Commerce AS hasil penyelidikan produk biodiesel Indonesia. Akibatnya, ekspor biodiesel ke AS pun semakin menyusut.

Indonesia telah menyampaikan protes melalui submisi serta surat Menteri Perdagangan  yang saat ini  sedang dalam tiap tahap penyelidikan. Pengajuan di Court of International Trade bersama dengan pelaku usaha terhadap keputusan pemerintah AS juga telah dilakukan.

Menurutnya, pasar tradisional seperti Uni-Eropa dan AS memiliki potensi pasar  yang besar bagi perusahaan. “Sehingga pembelaan untuk memenangkan kembali pasar AS dalam hal ini sangat penting  terutama untuk mendorong kinerja ekspor nasional,” ujar Pradnyawati.

(Baca : Biodiesel Kena Bea Masuk Anti-Dumping, RI Akan Gugat AS ke WTO)

Untuk mengatasi kebuntuan ekspor ke AS, pemerintah dan produsen biodiesel nasional juga telah menyiapkan langkah pemasaran  ke negara mitra dagang lain seperti Tiongkok, India, dan Pakistan.

Pengamat dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengusulkan pemerintah mesti aktif mendiversifikasi pasar sebagai upaya menangkal dampak  proteksionisme dan perang dagang pasar AS. Hal itu untuk mengantisipasi hambatan ekspor minyak kelapa sawit dan turunannya ke negera lain yang menjadi mitra dagang utama Indonesia.

Sepanjang triwulan pertama 2018, ekspor Indonesia ke negara tujuan utama bisa tumbuh 12,3%, sedangkan ekspor ke pasar nontradisional hanya naik 1,4% dibandingkan 2017. “Pertumbuhan ekspor ke pasar nontradisional masih jauh lebih rendah dibanding pasar tradisional,” ujar Direktur CORE Indonesia, Mohammad Faisal.

(Baca : Indonesia Menangkan Sengketa Biodiesel dengan Uni Eropa)

Sementara itu Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan mengungkapkan kekhawatirannya akan terjadinya efek domino atas tindakan proteksionis AS dan Uni-Eropa terhadap produk biodiesel Indonesia. “Langkah ini bisa saja ditiru oleh negara tujuan ekspor biodiesel lainnya,” ujar Paulus.

Pasalnya, Uni-Eropa juga melakukan penyelidikan anti-dumping terhadap produk Biodiesel Indonesia dan menerapkan bea masuk anti-dumping atas ekspor Biodiesel Indonesia. Namun, Indonesia telah memenangkan sengketa di WTO (DS480 case) secara telak.

Berdasarkan data Trade Map tren impor AS terhadap produk biodiesel Indonesia terus mengalami peningkatan sejak tahun 2014 hingga tahun 2016 baik secara volume maupun nilai. Rata-rata terjadi kenaikan kenaikan terbesar secara nilai adalah pada 2016 impor biodiesel AS dari Indonesia meningkat sebesar 74,35% atau senilai US$ 268,2 Juta. Setelah inisiasi kasus anti-dumping, ekspor Indonesia turun menjadi US$ 71 ribu per kuartal ketiga tahun 2017 atau mengalami penurunan sebesar 99,97% dibandingkan tahun 2016.

Reporter: Michael Reily