Faktor harga jual lebih ekonomis serta mutu jagung yang memenuhi standar pabrik menjadi alasan jagung impor lebih disukai pengusaha dan pelaku industri dibanding jagung lokal. Hal tersebut sejalan dengan upaya Kementerian Perdagangan yang membuka keran impor jagung industri sebesar 171.660 ton.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman menyatakan industri pengolahan makanan membutuhkan pasokan jagung sebagai bahan baku. Meski demikian, jagung yang diperlukan harus memiliki jenis dan kadar tertentu yang sesuai dengan jenis produk makanan yang diproduksi.
“Produk jagung puff misalnya, perlu kadar pati yang tinggi,” kata Adhi kepada Katadata, Kamis (8/2).
(Baca : Kerap Diprotes Soal Impor Jagung, Ini Jawaban Kemendag)
Meski demikian, jenis jagung saja tak cukup. Menurutnya, industri memerlukan ketersediaan bahan baku jagung yang stabil dan berkelanjutan khususnya dalam perhitungan waktu , jumlah, mutu serta memiliki daya saing dalam rantai pasok global. Sehingga, produknya memiliki nilai tambah hingga mampu menembus pasar ekspor serta meningkatkan lapangan kerja.
Sedangkan untuk faktor harga, Adhi pun membenarkan impor dinilai lebih ekonomis dibandingkan dengan jagung lokal. “Terlebih, sebagian memang impor untuk kebutuhan industri pangan,” ujarnya.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa kepada Katadata juga mengungkapkan harga jagung impor hampir separuh lebih murah dibanding harga jagung lokal.
(Baca juga : Kementan Keberatan Kemendag Izinkan Impor Jagung Dekat Masa Panen)
Data Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukan rata-rata harga jagung internasional saat ini berada di kisaran US$ 148 per ton atau sekitar Rp 2 ribu per kilogram. Sementara Harga Pembelian Pemerintah (HPP) jagung lokal sebesar Rp 3.150 per kilogram.
Dwi menyebutkan harga internasional merupakan harga artifisial. “Produksi jagung telah melampaui kebutuhan negara mereka, sehingga seringkali harga jual ke luar jadi pertimbangan belakangan,” katanya.
Akan tetapi, jika permintaan terhadap impor jagung tinggi, maka harga jual pasti akan mengikuti atau meningkat seiring banyaknya jumlah permintaan. Contohnya seperti beras yang diimpor dengan harga US$ 450 per ton, padahal harga beras di pasar internasional tercantum sekitar US$ 390 per ton.
Meski begitu, dia meyakini impor jagung untuk industri tidak akan mempengaruhi harga jual petani. Namun di sisi lain, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan petani jagung agar bisa mencapai produktivitas lebih tinggi dan menghasilkan produk berkualitas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri baik untuk pangan, pakan ternak, dan industri.
“Berikan subsidi bagi petani supaya hasil produksinya baik,” tuturnya.