Di tengah seretnya penerimaan negara, beberapa ekonom menyarankan pemerintah untuk memangkas belanja negara untuk pembangunan infrastruktur. Tujuannya, untuk menjaga stabilitas makroekonomi. Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menekankan pemerintah punya strategi.
Menurut Darmin, pemerintah memiliki tiga kebijakan terkait pendanaan infrastruktur. Pertama, mendorong penerimaan agar mampu memenuhi kebutuhan. Kedua, mencari pembiayaan di pasar keuangan. Ketiga, mengkaji kemungkinan memangkas target proyek infrastruktur yang dikerjakan.
"Jadi tolong jangan lihat kemungkinan-kemungkinan (pemangkasan anggaran), karena selalu ada tiga kelompok ini," ujar dia di kantornya, Jakarta, Senin (16/10). (Baca juga: Bahaya Anggaran Negara: Pajak Seret, Proyek Infrastruktur Membebani)
Terkait penerimaan, Darmin mengatakan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak tengah berusaha meningkatkan basis pajak dari hasil pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty). Selain itu, Ditjen Pajak juga tengah merancang beberapa aturan untuk bisa memajaki bidang-bidang ekonomi yang selama ini belum terpajaki secara maksimal, seperti bisnis digital.
"Pertumbuhannya mungkin sudah 8%-lah (dibandingkan tahun lalu)," kata dia. "Tapi realisasi tiga bulan terakhir ini akan sangat menentukan apakah defisit anggarannya bisa dipertahankan di perkiraan 2,6% (terhadap Produk Domestik Bruto/PDB)." (Baca juga: Penerimaan Baru 60%, Ditjen Pajak Sandera Penunggak Pajak Tiap Hari)
Namun, ia mengakui, biasanya penerimaan pada tiga bulan terakhir tidak akan besar. "Kalau sampai tidak bisa (tercapai penerimaannya) maka mau tidak mau akan ada upaya lain. Tapi upaya lain itu juga mau tidak mau akan mengganggu besarnya defisit. Cuma pemerintah yakinkan masih di bawah batasan (defisit) yang diizinkan," ujar dia.
Terkait pembiayaan dari pasar keuangan, Darmin menjelaskan, pemerintah telah mengarahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mencari pembiayaan lain di luar APBN. Misalnya, dengan menjaminkan (sekuritisasi) asetnya. Saat ini, pemerintah juga sudah menyiapkan aturan untuk mendapatkan pembiayaan dengan menjual konsesi terbatas.
"Semua itu upaya untuk memobilisasi pendanaan melalui sekuritisasi atau private placement (penempatan langsung). Tapi tidak menjual, hanya konsesi saja," ucapnya. (Baca juga: Pemerintah Dorong Instrumen Pembiayaan Bebas Pajak untuk Infrastruktur)
Terakhir, pemerintah juga membuka kemungkinan soal penyesuaian target proyek infrastruktur. Meski ada penyesuaian, ia meyakinkan dampaknya tetap maksimal terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk proyek infrastruktur yang ringan, ia yakin sudah bisa berdampak ke perekonomian tahun ini. Namun, untuk yang besar-besar seperti pembangkit listrik, pelabuhan, bandara, rel kereta api, dan sebagainya ia yakin sudah ada sebagian yang terasa di 2018. Lalu mulai signifikan di 2019.
Sebelumnya, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri memprediksi akan terjadi krisis ekonomi kecil di Indonesia pada November 2017. Potensi krisis itu, kata dia, muncul karena belanja infrastruktur negara yang sangat besar. Sementara, kata dia, pertumbuhan penerimaan pajak negara terus mengalami penurunan.
Krisis kecil yang Faisal maksud adalah pelemahan mata uang rupiah hingga ke level Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat (AS) dan penurunan pertumbuhan ekonomi hingga level 4,9%.
Ekonom sekaligus politikus senior Kwik Kian Gie juga mengatakan bahwa ekonomi Indonesia saat ini tengah menuju tahap resesi. Hal tersebut dengan mengacu pada teori overinvestment. Inti dari teori itu adalah kegiatan investasi selalu lebih besar dari tabungan yang menyebabkan pembiayaan investasi dilakukan dengan menggunakan kredit dari bank.