Petani tebu mengeluhkan Harga Eceran Tertinggi (HET) gula yang oleh Kementerian Perdagangan sebesar Rp 12.500 per kilogram. Mereka menyebut harga yang terlalu rendah itu bisa merugikan petani.
"Kalau sekarang HET Rp 12.500 per kilogram ya memberatkan kami,” kata kata Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Kamis, (13/7).
Menurutnya, HET sebesar Rp 12.500 per kilogram bisa saja diterapkan apabila rendemen atau kadar gula dalam tebu berada di kisaran 10 persen. Masalahnya, saat ini tingkat rendemen hanya 7 persen, sehingga berpotensi merugikan petani.
(Baca juga: Petani Tebu Beromzet di Bawah Rp 4,8 Miliar Batal Kena PPN 10%)
Di sisi lain, Sumitro melihat bahwa jika harga gula dinaikkan hingga Rp 15 ribu per kilogram pun, konsumen tak akan keberatan. "Satu keluarga butuh kurang lebih 4 kilogram gula sebulan, cuma Rp 50 ribu. Kalau naik menjadi Rp 60 ribu, memang berpengaruh? Enggak," ujarnya.
Menurut Soemitro, Adanya HET dan beban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen yang ditanggung pedagang juga akan membuat mereka menekan petani. “Pedagang kan tidak mau rugi, mereka pasti menawar murah dari petani,” katanya.
Direktorat Jenderal Pertanian mencatat luas lahan tebu Indonesia pada 2016 mencapai 482.239 hektare yang menghasilkan 2,2 juta ton gula. Untuk meningkatkan produktivitas, ia meminta pemerintah untuk menyediakan bibit yang bagus dan memperbaiki irigasi.
(Baca: Mendag Tolak Rencana Sri Mulyani Kenakan PPN 10% Bagi Petani Tebu)
Sementara itu Sekjen APTRI, Nur Khabsyin, juga meminta kepada Menteri Perdagangan untuk dapat merevisi nilai HET gula. "Karena harga itu belum memasukkan komponen PPN," katanya.