Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) meminta pemerintah lebih proaktif menghadapi ancaman pengenaan bea masuk tambahan dari Amerika Serikat (AS). Sebab, Presiden AS Donald Trump telah mengeluarkan perintah untuk menyelidiki dugaan kecurangan yang dilakukan oleh Indonesia dan beberapa Negara lain sehingga menyebabkan neraca dagang mereka defisit.
Apalagi, sebelum ada perintah eksekutif Trump itu, National Biodiesel Board (NBB) Fair Trade Coalition atau Asosiasi Produsen Biodiesel AS telah mengajukan petisi anti dumping dan anti subsidi untuk produk biodiesel Indonesia. Bila petisi ini dikabulkan, produk biodiesel Indonesia bisa dikenai tambahan bea masuk dari awalnya 7-9 persen hingga menjadi 34 persen.
“Ekspor biodiesel bisa mengecil jika isi petisi dikabulkan pemerintah Amerika Serikat,” kata Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan, Jumat (7/4).
(Baca juga: Biodiesel Masuk Radar Dumping Trump, Pemerintah Pasang Kuda-kuda)
Paulus menyayangkan jika hal ini sampai terjadi. Sebab, dalam tiga tahun terakhir, ekspor biodiesel ke AS tumbuh cukup pesat. Ia merinci, ekspor biodiesel ke AS pada 2014 lalu berjumlah 51.280 juta galon dan naik lebih dari dua kali lipat hingga menjadi 111.272 juta galon pada 2016 lalu. “Karena itu pemerintah harus segera bertindak,” katanya.
Bila kinerja ekspor ke AS mengalami penyusutan, menurut Paulus, hasil biodiesel dari kapasitas terpasang yang mencapai 10,07 juta ton sulit dijual ke negara atau kawasan lain. Sebab, pada 2013 Uni Eropa telah mengenakan bea masuk tambahan anti dumping yang besarnya mencapai 23 persen. Sejak itu, ekspor biodiesel ke Benua Biru terus merosot.
Sementara, pada saat yang sama produsen belum bisa mengandalkan pasar dalam negeri karena selama ini konsumsi domestik hanya sekitar 25 persen dari total produksi.
(Baca juga: Sengketa Biodiesel, Indonesia Gugat Uni Eropa di WTO)
Senada dengan Paulus, Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga melihat bahwa target ekspor biodiesel tahun ini, yakni mencapai 500 ribu ton akan sulit dicapai bila Donald Trump benar-benar meloloskan petisi tersebut.
Sahat pun menilai ini adalah upaya proteksi untuk menaikkan pamor minyak kedelai yang lebih mahal di AS. " Harga sawit lebih murah US$150 per ton karena produktivitasnya lebih tinggi," kata Sahat.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah memulai indentifikasi komoditas apa saja yang mungkin akan dipermasalahkan oleh Trump. “Kita harus siapkan langkah, karena yang diinvestigasi belum tahu komoditasnya apa saja,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Oke Nurwan usai, Kamis (6/4) lalu.
(Baca juga: Pemerintah Tenang Hadapi Isyarat “Lampu Kuning” Trump)
Oke mengatakan ada tiga puluh potensi kasus yang sedang dipelajari Kementerian Perdagangan. Salah satu yang mungkin akan dipersoalkan adalah biodiesel.