Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah perlu semakin gencar mengunakan kebijakan-kebijakan non-tarif untuk melindungi industri di dalam negeri. Kebijakan non-tarif tersebut dikenal dengan istilah Non-Tariff Measures (NTMs) dan Non-Tariff Barriers (NTB).
Airlangga menjelaskan, instrumen tarif tak bisa lagi diandalkan untuk memproteksi industri dalam negeri. Menurut dia, instrumen itu hanya cocok bagi negara yang memiliki daya saing tinggi. Bagi negara industri, instrumen nontarif-lah yang seharusnya dimanfaatkan. Selain itu, memanfaatkan isu yang digulirkan Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti terjadi pada produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
“Terkait tarif, bukan instrumen Kemendag (Kementerian Perdagangan) untuk proteksi produk. Ada lain yang lebih dahsyat, yaitu dengan non-tariff barriers. Barang kita juga perlu diproteksi, negara lain juga pakai,” kata Airlangga di Jakarta, Rabu (22/2). (Baca juga: Jokowi Kawal Langsung Perundingan Dagang Indonesia – Australia)
Menurut Airlangga, mengacu pada data World Trade Organization (WTO), kuantitas NTM di Indonesia masih terbilang sedikit bila dibandingkan dengan negara ekonomi berkembang (emerging market) lainnya seperti negara-negara di ASEAN, Brazil, Turki, dan India.
Indonesia baru menerapkan 272 jenis NTM, tertinggal dari Malaysia yang menerapkan 313 NTM, Thailand sebanyak 601 NTM, dan Filipina 990 NTM. Indonesia juga tertinggal dari Brazil yang telah menerapkan 2071 NTM, Turki sebanyak 386 NTM, dan India dengan 668 NTM.
Lebih jauh, Airlangga mengatakan, Indonesia juga baru menerapkan hambatan dagang (trade barriers) untuk 113 produk. Jauh tertinggal dibanding Eropa dan Amerika Serikat (AS). “Kalau bicara trade barrier, Eropa ada 4.000, AS ada 1.400, Indonesia hanya 113, jadi apakah Indonesia tidak punya produk atau apa Indonesia yang paling sopan?” ujarnya.
Adapun terkait kebijakan tarif untuk mendorong industri domestik, Airlangga mengungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta kementerian terkait menurunkan rata-rata tarif bea masuk impor dari 8 persen menjadi 2-6 persen. Tarif tersebut setara dengan yang diterapkan Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa.
Penurunan bea masuk impor terutama ditujukan bagi barang baku yang diperlukan untuk produk ekspor. Hal itu disampaikan Jokowi kepada seluruh jajaran kabinetnya dalam rapat paripurna, di Istana Bogor, awal Januari lalu. (Baca juga: Jokowi Minta Sistem Kuota Impor Diganti Tarif)
Ia pun mengklaim bahwa saat ini merupakan waktu terbaik untuk berinvestasi di industri yang berorientasi ekspor. Sebab, belanja modal (capital expenditure) sedang berada pada titik terendah. Hal itu terjadi lantaran harga minyak bumi dan batu bara berada di level terendah sejak 2008. Harga kedua komoditas tersebut diproyeksi naik tahun ini. Oleh karena itu, dia pun mengingatkan pelaku industri di Indonesia memanfaatkan momentum ini dengan baik.