Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memutuskan menarik negaranya keluar dari pakta kerja sama perdagangan kawasan Pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP). Keputusan itu berdampak terhadap pecahnya suara 11 anggota lainnya terhadap kelanjutan nasib kerja sama dagang tersebut.
Negara-negara anggota TPP semula menaruh harapan besar terhadap TPP untuk meningkatkan perekonomiannya. "Namun keputusan Trump mengacaukan rencana negara-negara itu dalam liberalisasi perdagangan," ujar Kepala Ekonom IHS Global Insight untuk kawasan Asia Pasifik, Rajiv Biswas, seperti dilansir CNN, Selasa (24/1).
(Baca: Trump Bawa Amerika Keluar TPP, Pakta Dagang Trans Pasifik Kolaps)
Sebanyak 11 negara anggota TPP sebenarnya telah memprediksi langkah Trump ini. Dalam kampanyenya, Trump menyatakan kerjasama tersebut hanya akan menciptakan lapangan pekerjaan di luar negeri dan tidak menguntungkan para pekerja domestik Amerika.
Padahal negara-negara tersebut: Australia, Brunei, Kanada, Cile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam sebelumnya menandatangani TPP untuk satu tujuan. Mereka ingin mendapatkan akses menuju pasar Amerika Serikat, dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar 69 persen dari total PDB 12 anggota TPP.
Contohnya adalah Selandia Baru dan Australia yang membidik pasar AS untuk ekspor produk peternakan, daging sapi, serta pertanian. Sementara itu Jepang, yang akan menjadi pasar terbesar selanjutnya, sempat berencana menekan hambatan untuk daging sapi dan beras. Hal ini tentu akan menguntungkan para eksportir asing, tapi merugikan produsen domestik.
Selain itu, Jepang sebenarnya membidik pasar baru untuk memasarkan produk-produknya, terutama otomotif. (Baca: Belasan Langkah Drastis Trump dalam Dua Hari di Gedung Putih)
Berikut ini tanggapan negara-negara anggota TPP tentang nasib pakta dagang tersebut pasca keputusan Trump.
Australia:
Menteri Perdagangan Australia, Steven Ciobo, melihat TPP tidak bisa berjalan jika Amerika Serikat tak mengubah pikirannya. "Ini perjanjian dengan begitu banyak keuntungan. Keuntungan bagi Australia, Jepang, Kanada, Meksiko dan negara-negara lainnya. Kami pun memikirkan kemungkinan adanya TPP dengan keanggotaan 12 minus satu."
Kanada:
Juru bicara urusan luar negeri Kanada, Kristine Racicot, menilai perjanjian ini tidak bisa berjalan tanpa Amerika Serikat.
Cile:
Menteri Luar Negeri Cile, Heraldo Munoz, berharap dapat melanjutkan kerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, yang menjadi mayoritas anggota TPP. "Kami ingin tetap mengupayakan integrasi dan keterbukaan menuju dunia luar," ujarnya.
Jepang:
Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe berharap Rrump memahami pentingnya perdagangan yang adil dan bebas. Jadi, dia ingin meyakinkan Trump bahwa perjanjian TPP ini penting dan strategis untuk perekonomian. "Ketentuan-ketentuan baru dalam TPP yang ditetapkan setelah melalui negosiasi sekian tahun akan menjadi model perundingan perdagangan di masa depan. Kami ingin menjadi standar dunia di abad ke-21 ini," kata Abe.
Malaysia:
Menteri Perdagangan dan Industri Malaysia, Dato' Sri Mustapa Mohamed berpandangan, jika TPP gagal maka Malaysia akan kehilangan kesempatan. "Ini mengingat pentingnya Amerika Serikat sebagai mitra ketiga terbesar dalam perdagangan dan investasi," katanya. Selanjutnya, Malaysia memilih fokus meningkatkan integrasi perekonomian ASEAN.
Meksiko:
Presiden Meksiko, Enrique Pena Nieto menyatakan akan memprioritaskan konsolidasi sebagai pelaku perdagangan, investasi, dan pariwisata di kawasan Pasifik. "Meksiko akan segera menggelar pembicaraan dengan negara-negara dalam perjanjian ini untuk membentuk kesepakatan perdagangan bilateral baru," katanya.
Selandia Baru:
Menteri Perdagangan Selandia Baru, Todd McClay mengaku kecewa dengan keputusan Amerika tersebut. "Kami ingin Amerika Serikat tetap terlibat dalam TPP. Namun, perjanjian ini tetap memungkinkan berlaku sebagai kesepakatan perdagangan bebas dengan negara-negara lain dalam perjanjian ini."
Singapura:
Juru bicara Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura melihat tanpa keikutsertaan Amerika Serikat maka TPP tidak bisa berjalan. Meski begitu, negara pulau masih memiliki sejumlah perjanjian regional, termasuk Regional Comprehensive Economic Partnership serta proposal kerjasama perdagangan bebas untuk kawasan Asia Pasifik. "Singapura akan tetap melanjutkan ini," katanya.
Sampai saat ini, masih belum ada tanggapan dari Brunei, Peru dan Vietnam mengenai keluarnya Amerika Serikat dari TPP. (Baca: Efek Trump, Bunga Acuan Diproyeksi Tetap Sepanjang Tahun)
Meski para petinggi negara-negara anggota TPP mengupayakan kelanjutan pakta perdagangan tersebut dalam bentuk lain, dampaknya tidak akan sama dibanding kesepakatan TPP terdahulu.
"Manfaat dalam perekonomian akan berkurang drastis tanpa kehadiran Amerika Serikat," kata Biswas. Ia menjelaskan, jika 11 anggota TPP tetap ingin melanjutkan pakta pedagangan ini, maka negara-negara Asia Pasifik lainnya memiliki peluang untuk bergabung.