Pasar properti secara umum diperkirakan masih lesu pada tahun ini. Salah satu penyebabnya adalah melimpahnya pasokan unit properti, seperti perkantoran dan apartemen. Akibatnya, pertumbuhan harga properti, seperti apartemen, cenderung melambat.
Konsultan properti, Colliers International, meramal pertumbuhan ruang perkantoran bakal stagnan tahun ini. Penyebabnya, pasokan untuk properti jenis ini sudah sangat besar sedangkan permintaan masyarakat rendah. Cuma kawasan industri dan pusat perbelanjaan yang mungkin tumbuh lebih tinggi.
Senior Associated Director Colliers International Ferry Salanto mengungkapkan, permintaan ruang perkantoran hanya sekitar 250 ribu hingga 300 ribu meter persegi setahun. Sedangkan tambahan ruang untuk perkantoran mencapai 731 ribu meter persegi tahun ini. Penambahan tersebut bakal memperbesar pasokan sebelumnya yang mencapai 5,5 juta meter persegi.
“Karena sudah oversupply, sementara permintaannya di bawah itu. Jadi ada gap,” ujar Ferry dalam paparan "Jakarta Property Market" di Jakarta, Kamis (5/1).
Lebih jauh, Ferry menjelaskan, rata-rata tingkat hunian perkantoran pun rendah, di bawah 60 persen pada 2016 lalu. Artinya, ada banyak ruang yang tidak ditempati. Kondisi ini tentunya merugikan pengembang karena ada biaya operasi (operating cost), seperti listrik dan perawatan yang tetap harus dibayarkan, meski tidak dihuni.
Sejauh ini, ia melihat pertumbuhan ruang untuk perkantoran hanya terjadi di kawasan Sudirman, khususnya karena pembangunan moda transportasi massal Mass Rapid Transit (MRT). (Baca juga: BTN: Tahun Depan Bunga KPR Mungkin Turun)
Kelebihan pasokan juga terjadi pada properti jenis apartemen. Colliers memperkirakan, pasokan apartemen pada 2017 mencapai 28 ribu unit dan pada 2018 bertambah lagi sebanyak 24,3 ribu unit.
Sementara itu, permintaan masyarakat masih rendah. Hal tersebut tampak dari kenaikan rata-rata harga apartemen yang hanya 3,8 persen di 2016. “Tahun-tahun sebelumnya bisa lebih dari empat persen,” kata Ferry.
Senior Associated Director Capital Markets and Investment Services Colliers International Aldi Garibaldi mengatakan, rendahnya penjualan apartemen juga lantaran belum ada insentif yang cukup untuk mendorong permintaan. Insentif pajak melalui paket kebijakan terkait Dana Investasi Real Estate (DIRE) pun tak berpengaruh.
Menurut Aldi, kebijakan tersebut hanya akan berpengaruh pada pendapatan produsen properti jenis hotel atau rumah sakit. Yang semestinya bisa mendorong permintaan apartemen cuma penurunan suku bunga kredit oleh perbankan .
“Suku bunga acuan memang 4,75 persen, tapi yang kena di masyarakat masih sekitar 9-10 persen. Kalau mau mendorong (penjualan) yang affordable housing, ya suku bunganya harus diturunkan. Pernah juga dilakukan, tapi (tetap saja karena) pendapatan masyarakat Indonesia masih rendah,” ujar dia. (Baca juga: Tahun Ini, Program Sejuta Rumah Tak Capai Target)
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang stagnan di kisaran lima persen menurunkan permintaan perumahan ekspatriat. Aldi menjelaskan, penurunan laba perusahaan minyak dan gas (migas) ataupun pertambangan membuat jumlah pekerja asing juga berkurang. Alhasil, permintaan rumahnya juga terkontraksi.
Tahun ini, Ferry meramalkan, hanya kawasan industri dan pusat perbelanjaan yang berpeluang tumbuh lebih tinggi. Pembangunan infrastruktur semestinya akan mendorong permintaan lahan untuk kawasan industri. Ekspansi industri dari Cina dan Jepang ke Indonesia dipercaya akan memperkuat permintaan. Lahan potensial yang bisa digunakan paling banyak berada di Karawang, kemudian Tangerang dan Serang.
“Tetapi tahun ini, industrinya bergeser. Kalau dulu lebih banyak otomotif, saat ini lebih banyak untuk pergudangan,” tutur Ferry. Selebihnya, lahan lebih banyak diserap oleh perusahaan bahan baku kimia, makanan dan minuman, logam, penyedia barang-barang konsumsi, dan farmasi.