Kuota Rumah Subsidi Ditambah Dua Kali Lipat Jadi 440.000 Unit Tahun Ini

Ringkasan
- Timnas AMIN mengkritik pernyataan Jokowi yang membela hak presiden dan menteri dalam berpartisipasi dalam kampanye.
- Timnas AMIN berpendapat bahwa hak kampanye presiden dan wakil presiden hanya berlaku untuk petahana yang mencalonkan diri untuk periode kedua, bukan untuk Jokowi yang masa jabatannya akan berakhir.
- Jokowi memberikan klarifikasi bahwa pernyataannya didasarkan pada Pasal 299 UU Pemilu dan tidak menunjukkan keberpihakan terhadap calon tertentu.

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, mengumumkan pemerintah akan menambah kuota rumah subsidi sebanyak 220.000 unit rumah. Dengan demikian, total kuota rumah bersubsidi dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) mencapai 440.000 unit pada tahun ini.
Maruarar mengatakan akan ada tambahan anggaran FLPP 2025 sekitar Rp 30 triliun, sehingga total anggarannya mencapai Rp 58,2 triliun. Tambahan anggaran tersebut merupakan hasil dukungan Presiden Prabowo Subianto, DPR, dan Bank Indonesia.
"Namun kami akan memperhatikan keseimbangan antara kuantitas dan kualitas. Jangan hanya kuantitas yang naik tapi kualitasnya turun," kata Maruarar di kantornya, Kamis (27/3).
Maruarar mengakui ada sebagian pengembang rumah bersubsidi dengan kualitas rendah. Hal tersebut tercermin pada hasil kunjungan kerjanya di Bekasi, Jawa Barat. Maruarar menemukan ada rumah bersubsidi yang terendam air walau tidak hujan pada hari itu.
14 Pengembang Nakal
Sebelumnya, Inspektur Jenderal Kementerian PKP Heri Jerman menemukan 14 pengembang nakal di Jabodetabek yang terlibat dalam program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. Belasan pengembang itu dinilai menyalahgunakan tata kelola anggaran negara hingga Rp 2,53 triliun.
Heri mengatakan setiap pengembang nakal itu membangun antara 1.000 sampai 1.200 unit rumah dalam program FLPP. Adapun penyalahgunaan tata kelola tersebut tercermin pada mutu rumah terbangun yang di bawah standar rumah layak.
Sebanyak 60% dana dalam program FLPP pada tahun lalu berasal dari anggaran negara, sementara 40% berasal Badan Layanan Usaha Kementerian Keuangan, yakni PT Sarana Multigriya Finansial. Dengan kata lain, total anggaran negara yang tata kelolanya disalahgunakan 14 pengembang tersebut sekitar Rp 1,5 triliun.
Harga rumah FLPP di Jabodetabek mencapai Rp 185 juta per unit pada tahun lalu. Dengan demikian, 14 pengembang nakal tersebut berkontribusi sekitar 14% dari total anggaran program FLPP tahun lalu senilai Rp 18 triliun.
Heri mengaku telah meminta Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan audit dengan tujuan tertentu kepada 14 pengembang tersebut. Ini penting untuk menemukan apakah pembangunan rumah di bawah standar tersebut telah merugikan negara atau tidak.
Ia pun berencana menginstruksikan 14 pengembang tersebut untuk memperbaiki rumah di bawah standar yang telah dihuni. Jika tidak diindahkan, Heri akan menyerahkan nasib 14 pengembang nakal tersebut ke aparat penegak hukum.
"Kami memberikan kesempatan pada pengembang untuk memberikan yang terbaik pada bangsa dan negara, jangan hanya memikirkan keuntungan. Lagipula, kami sudah menghitung para pengembang masih untung dengan skema yang benar," katanya.