Transaksi Dagang di ASEAN Pakai Mata Uang Lokal Tak Diminati

Arief Kamaludin | Katadata
29/12/2016, 10.23 WIB

Di tengah tren penguatan dolar Amerika Serikat (AS), eksportir dan importir tak lantas tertarik menggunakan mata uang lokal untuk bertransaksi. Padahal, Bank Indonesia (BI) terus memperbaharui kerja sama dengan bank sentral negara lain untuk mendorong penggunaan mata uang lokal, baik untuk transaksi dagang maupun investasi.

Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana Soelistyoningsih berpendapat, minimnya penggunaan mata uang lokal untuk transaksi dagang internasional lantaran kurangnya sosialisasi dari bank sentral masing-masing negara. Padahal, bila transaksi tersebut dilakukan, bisa membantu mengurangi kebutuhan dolar AS di dalam negeri. Ujung-ujungnya, mengurangi tekanan terhadap mata uang lokal.

“Harus diintensifkan sosialisasi baik ke perbankan maupun pelaku usaha,” kata Lana kepada Katadata, Rabu (28/12). Sosialisasi tersebut diperlukan agar pelaku usaha dan perbankan tak ragu dalam menggunakan mata uang lokal. (Baca juga: Dolar Perkasa, Tiga Negara ASEAN Sepakat Pakai Mata Uang Lokal)

Lana menjelaskan, dalam transaksi ekspor minyak sawit dengan Thailand, misalnya, eksportir seharusnya bisa menerima pembayaran dalam bath. Selanjutnya, eksportir mengonversi bath ke rupiah di bank domestik. Pertanyaannya, “Bank siap tidak menerima bath?” ujar Lana.  

Sebetulnya, menurut dia, bank tak perlu ragu menerima mata uang lokal milik negara tetangga seperti bath Thailand. Bila bank mengalami kelebihan bath, misalnya, bisa membawanya ke BI untuk ditukarkan kembali menjadi rupiah. BI sendiri bisa saling bertukar bath dan rupiah dengan bank sentral Thailand untuk menjaga pasokan dan permintaan mata uang tersebut.    

Sayangnya, mekanisme ini belum banyak disosialisasikan. Alhasil, banyak eksportir cuma mau menerima pembayaran dalam dolar AS. Demikian juga bank yang belum tentu mau menerima konversi sejumlah besar mata uang tertentu ke rupiah atau sebaliknya.

Atas dasar itulah, Lana menilai selain sosialisasi perlu ada terobosan kebijakan. Ia mengusulkan agar dilakukan uji coba misalnya mewajibkan transaksi dengan mata uang lokal untuk perdagangan sektor tertentu. (Baca juga: Manggis Dilarang Masuk, Indonesia Adukan Cina ke WTO)

Sebelumnya, Indonesia pernah melakukan kerja sama dengan Cina untuk transaksi dagang dengan mata uang lokal. Adapun transaksi dagang dengan yuan mencapai 3 persen dari total transaksi dagang internasional.

Negara/Transaksi DagangEkspor  NonmigasKontribusiImpor NonmigasKontribusi
ASEANUS$ 23,43 miliar22,03 %US$ 20,65 miliar21,77%
Uni EropaUS$ 11,64 miliar10,95 %US$ 8,72 miliar9,19%
Negara Utama Lain:Cina, Jepang, AS, India, Australia, Korsel, TaiwanUS$ 51,57 miliar48,48 %US$ 55,53 miliar57,03%

*Data Badan Pusat Statistik Januari-Oktober 2016

Sedangkan Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk., David Sumual, menilai transaksi dagang dengan mata uang lokal sulit dilakukan. Alasannya, pendalaman pasar keuangan di sejumlah negara mitra dagang Indonesia belum terjadi. Alhasil, instrumen investasinya terbatas.

Selain itu, beberapa pasar keuangan juga tak sepenuhnya terbuka terhadap asing. Kondisi tersebut membuat pelaku usaha sulit memutar devisa hasil ekspor bermata uang lokal.

“Mekanisme perdagangan, kalau (neraca dagang) defisit terlalu banyak ke negara tertentu, (artinya) kekurangan mata uang tersebut. Kalau surplus terlalu besar, (artinya) terlalu banyak bath (misalnya), maka harus diinvestasikan. Kalau USD gampang, paling likuid,” ujar David. Kelebihan likuiditas dolar AS bisa diinvestasikan di surat utang negara tersebut atau instrumen investasi lain berdenominasi dolar AS.

Sejauh ini, menurut David, pasar keuangan di Cina pun tak selikuid pasar keuangan di AS. Jadi, perlu ada pendalaman dan keterbukaan pasar keuangan di negara-negara yang melakukan kerja sama dagang tersebut. Dengan begitu, penggunaan mata uang lokal bisa jadi alternatif yang menarik selain dolar AS.

David menambahkan, transaksi dagang dengan mata uang lokal juga sulit dilakukan lantaran utang para eksportir atau importir banyak yang dalam bentuk dolar AS. Bila bertransaksi dengan mata uang lokal, maka terjadi missmatch. “Kalau dalam yuan, ringgit, bath. Nah, itu harus (konversi),” kata dia.

(Baca juga: Pekan Terakhir 2016, Kurs Rupiah Masih Tertekan Efek The Fed)

Luasnya penggunaan dolar AS di dunia tampak dari besarnya cadangan devisa negara yang ditempatkan dalam instrumen investasi berdenominasi dolar AS. David merinci, sekitar 65 persen cadangan devisa ditempatkan dalam instrumen investasi berdenominasi dolar AS.

Sisanya dalam euro 20 persen, dan selebihnya dalam poundsterling, yen, dolar Kanada, dan yen Jepang. Adapun penempatan di yuan kurang dari 1 persen. “Sulitnya (menggunakan mata uang lokal) karena mata uang dolar reserve currency,” ujarnya.