Menteri Bambang Peringatkan Bahaya Ketergantungan Komoditas

Arief Kamaludin|KATADATA
15/9/2016, 15.01 WIB

Kejatuhan harga berbagai komoditas di tingkat dunia masih berlanjut hingga saat ini. Karena itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengingatkan dunia usaha agar jangan berharap banyak kepada bisnis yang didominasi komoditas mentah.

Salah satu contoh, kata Bambang, minyak sawit mentah atau crude palm oil pernah booming dan harganya melejit. Di sini banyak nilai positifnya. Namun begitu pula sebaliknya saat harga jatuh akan banyak dampak negatif, termasuk membebani neraca perdagangan. (Baca: Harga CPO Anjlok, Asosiasi Minta Program Biodiesel Dievaluasi).

“Komoditas akan bagus kalau harganya bagus. Kalau hancur, kita yang harus menyesuaikan,” kata Bambang dalam acara CEO Power Breakfast di Gedung Menara Niaga, Jakarta, Kamis, 15 September 2016. “Jadi jangan harap selamat kalau hanya mengandalkan komoditas.”

Lebih dari itu, dia berharap dunia usaha berfokus kepada sektor manufaktur serta jasa semodel pariwisata. Kedua sektor ini dapat dikembangkan dalam waktu dekat. Usaha tersebut terbukti tahan banting dan memiliki nilai tambah.

Menurutnya, pada masa-masa sebelum krisis 1998, Indonesia berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi relatif tinggi, yakni 7 hingga 8 persen per tahun. Hal ini disumbang oleh keberadaan industri manufaktur padat karya terutama di bidang tekstil. Ketika itu banyak pabrik dari Jepang yang direlokasi ke Indonesia.

Untuk saat ini, sektor tekstil mungkin sudah tidak semenarik dulu. Namun Bambang melihat ada alternatif lain yakni industri makanan dan minuman sebagai pionir utama, disusul dengan otomotif yang berorientasi ekspor. (Baca: Industri Kecil Ini Lebih Stabil Daripada Perusahaan Besar).

(Sekarang) pemain tekstil sudah banyak, mungkin kita bisa fokus ke segmen tekstil yang lebih high class,” katanya.

Begitu pula dengan pariwisata. Bambang mengatakan sektor ini belum tergarap dengan maksimal padahal dapat mendatangkan pendapatan jangka pendek. Pada 2015, Indonesia hanya mampu mendatangkan turis asing 10,4 juta wisatawan. Angka ini jelas kalah dengan negara-negara jiran.

“Malaysia dapat mendatangkan 24 juta turis, Thailand mendatangkan 22 juta, bahkan Singapura bisa mendatangkan 15 juta turis asing,” kata Bambang. (Baca: Jokowi Undang 10 Juta Turis Cina, Bukan Pekerja).

Karena itu, saat ini Indonesia akan banyak mengejar para pelancong mancanegara dari Cina. Penduduk Negeri Panda tersebut gemar bepergian dan mendominasi banyak lokasi wisata. Salah satu contohnya adalah Bali di mana turis asal Cina telah melampaui turis Jepang di posisi dua. Untuk itu, perlu disiapkan infrastrukturnya dan perbaikan pada sisi jasa.

Sementara itu, Managing Director Nielsen Indonesia Agus Nurudin mengatakan sektor manufaktur terutama makanan dan minuman yang disampaikan Bambang memang sejalan dengan bertumbuhnya konsumsi masyarakat. Dari sisi volume, industri makanan diprediksi tumbuh dua persen dengan proyeksi pendapatan tumbuh 11 persen.

“Untuk beverage (minuman) diproyeksi volume tumbuh lima persen tahun ini,” ujarnya.