Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunda pembangunan 700 unit rumah susun tahun ini. Penundaan ini merupakan konsekuensi dari program pemangkasan anggaran kementerian tahun ini.
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin mengatakan pihaknya mengajukan pemangkasan anggaran perumahan tahun ini sebesar Rp 355 miliar. Sekitar 31 persen atau Rp 110 miliar diantaranya merupakan anggaran untuk membangun 700 unit rumah susun tersebut.
Proyek pembangunan 700 unit rumah susun (rusun) yang terhambat ini berada di dua daerah. Yakni di wilayah Entikong (Kalimantan Barat) dan rusun untuk mahasiswa di Universitas Gadjah Mada (UGM). "Jadi ada dua, UGM dan Entikong, yang di-self blocking (anggarannya dihemat), dengan besaran Rp 110 miliar," kata Syarif kepada Katadata pekan lalu.
Dia mengaku alasannya memilih memangkas anggaran untuk pembangunan rusun di dua lokasi ini, adalah karena proyeknya memang belum siap. Kementerian juga menganggap proyek rusun tersebut relatif memiliki banyak permasalahan. (Baca: Proyek Infrastruktur Ditunda, Dana 2 Kementerian Dipotong Rp 12,5 T)
Pembangunan rusun di UGM ditunda, karena sebagian aset, khususnya lahan, masih dipegang oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti. Aset ini belum diserahkan kepada Kementerian PUPR. Sedangkan untuk rusun Entikong Syarif menjelaskan pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah provinsi Kalimantan Barat hingga saat ini masih belum rampung.
Syarif mengatakan tertundanya pembangunan 700 unit rusun ini akan berdampak pada Program Satu Juta Rumah yang ditargetkan bisa terbangun setiap tahunnya. Mengingat proyek rusun merupakan salah satu bagian dari program ini. Apalagi untuk mengatasi keterbatasan lahan perumahan, proyek rusun seharusnya bisa diandalkan.
Dia juga mengakui realisasi pengerjaan proyek rusun dan program sejuta rumah, masihi berjalan lambat. Sehingga akan sulit untuk mencapai target. Pemerintah juga harus bisa mendorong swasta untuk berperan lebih besar dalam mengejar target penyediaan rumah baru bagi masyarakat.
Peran swasta sangat penting, karena pelaksanaan program satu juta rumah tidak bisa mengandalkan anggaran negara. "Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), hanya mencukupi 10 persen dari target," ujarnya. (Baca: PUPR Siapkan Proyek Infrastruktur untuk Tampung Dana Repatriasi)
Kementerian PUPR mencatat hingga pertengahan tahun, realisasi rumah yang berhasil dibangun baru mencapai 11,4 persen, dari target satu juta rumah tahun ini. Tidak akan mungkin mengejar sisa target hanya dalam waktu enam bulan.
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Maurin Sitorus mengatakan hingga 20 Juni lalu baru 114.102 rumah yang berhasil terbangun. Jumlah ini terdiri dari 75.456 unit rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan untuk non-MBR sebanyak 38.646 unit.
Dia menjelaskan sepanjang pertengahan tahun ini sudah ada beberapa tipe rumah yang terbangun. Namun, belum ada satu pun unit rusun yang terbangun tahun ini. Kemungkinan proyek pengerjaan rusun bisa terealisasi di paruh kedua tahun ini. (Baca: Pemerintah Percepat Penambahan 11 Ribu Unit Rusun Baru)
Saat ini beberapa unit proyek rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sudah masuk dalam proses lelang. “Akan segera terealisasi di kuartal III dan IV tahun ini,” ujarnya.
Terkait dengan pemangkasan anggaran di Kementerian PUPR tahun ini, Maurin mengaku direktoratnya tidak terkena dampaknya. Pemerintah berkomitmen untuk tidak melakukan penghematan anggaran pembiayaan rumah. Makanya anggaran Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dialokasikan tetap sebesar Rp 12,4 triliun.
Sebenarnya, kata Maurin, pembiayaan tidak terlalu menjadi masalah utama dalam pencapaian target satu juta rumah. Hambatan terbesarnya yang dirasakan untuk merealisasikan program ini adalah masalah pengadaan lahan. (Baca: Program Sejuta Rumah Terhalang Dua Aturan Pemerintah)