Proyek Listrik Molor, Sudirman: Presiden Evaluasi Manajemen PLN

Katadata
Presiden Joko Widodo bersama Direktur Utama PLN Sofyan Basir.
Penulis: Miftah Ardhian
Editor: Yura Syahrul
18/5/2016, 19.33 WIB

Pemerintah menyoroti kelambanan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menyerahkan revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Hal itu telah menghambat penyelesaian megaproyek pembangkit listrik 35 gigawatt (GW) yang merupakan program pemerintah hingga 2019. Karena itu, Presiden Joko Widodo mengevaluasi manajemen dan proses pengambilan keputusan di tubuh PLN.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengungkapkan, pemerintah sudah terlalu lama menunggu penyerahan revisi RUPTL dari PLN. Padahal, seharusnya PLN bisa segera merampungkan dokumen revisi sesuai permintaan Kementerian ESDM karena hal itu tidak menyulitkan.

Akibat masalah tersebut, tak hanya PLN, pemerintah juga menerima efek berantai dari keterlambatan penyerahan revisi RUPTL PLN. “Ini bukan sekadar masalah penyerahan dokumen, tapi dari keterlambatan ini masalah jadi kemana-mana,” katanya di Jakarta, Rabu (18/5).

Karena itu, jika sampai Jumat nanti (20/5) PLN tidak menyerahkan dokumen revisi RUPTL maka pemerintah akan menempuh jalan lain. Namun, Sudirman tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai jalan lain yang bakal diambil pemerintah.

Menurut dia, terhambatnya proyek pembangunan pembangkit listrik ini bukan semata-mata akibat masalah pembebasan lahan. Sebab, pembebasan lahan memang kerap dikeluhkan di lapangan dan merupakan masalah yang akan terus muncul di berbagai lokasi pembangunan pembangkit listrik.

(Baca: Tiga Poin Utama Revisi Rencana Pembangkit Listrik PLN)

Namun, Sudirman melihat, masalah utama pembangunan pembangkit listrik adalah kurangnya komunikasi dan kerjasama antara PLN dengan pihak-pihak terkait. Alhasil, megaproyek ini mulai dari proses perencanaan hingga pembangunannya tidak dapat berjalan lancar.

Berdasarkan kondisi itulah, Sudirman mengaku, Presiden telah melakukan sejumlah evaluasi terhadap kinerja PLN. Yaitu evaluasi manajemen, baik manajemen pengambilan keputusan dan manajemen pengadaan di tubuh PLN. “Manajemen PLN, decision making-nya bagaimana, dan kemudian proses procurement,” katanya. Evaluasi itu dilakukan agar langkah PLN tetap selaras dengan kebijakan pemerintah untuk membangun pembangkit listrik 35 GW.

Secara terpisah, Wakil Ketua Unit Pelaksanaan Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UP3KN) Agung Wicaksono juga menyoroti kinerja manajemen PLN. “Alasan PLN (menunda keputusan proyek) tidak konsisten,” ujarnya kepada Katadata, Rabu (18/5).

(Baca: ESDM Desak PLN Rampungkan Revisi Rencana Proyek Listrik Pekan Ini)

Ia mengungkapkan, pemangkasan kewenangan Dewan Komisaris PLN turut menghambat penyelesaian proyek. Pihak direksi mengambil alih semua tanggung jawab dan memangkas kewenangan dewan komisaris dalam pelaksanaan lelang proyek.

Agung mencontohkan, terhambatnya pembangunan proyek Jawa-5 merupakan tanggung jawab PLN. Seperti diketahui, manajemen PLN secara sepihak membatalkan proses lelang pembangunan pembangkit listrik tersebut.

Dalihnya, PLN meragukan pengalaman peserta lelang dalam membangun proyek pembangkit listrik. Padahal, menurut Agung, lelang tersebut telah menggunakan skema ekspansi dan lelang terbatas. Dengan begitu, investor yang lolos seleksi sudah dapat dibuktikan kemampuannya.

Selain itu, PLN juga beralasan bahwa pembangunan transmisi tidak mencukupi. Padahal, hal tersebut semestinya sudah diantisipasi sejak jauh-jauh hari. “Alasannya berubah-ubah dan tidak konsisten,” ujarnya.

Menurut Agung, para investor sebenarnya masih berkomitmen untuk berkontribusi dalam megaproyek pembangkit listrik 35 GW. Sebagai contohnya, pada November 2015 saat amplop penawaran sudah dibuka dan diketahui harganya, para investor langsung menyiapkan peralatannya.

Namun, sejumlah perubahan keputusan secara mendadak oleh manajemen PLN telah menimbulkan ketidakpastian. “Mereka (investor) meminta kepastian,” kata Agung.

(Baca: Empat Faktor Penghambat Realisasi Megaproyek Listrik 35 GW)

Untuk menyelesaikan berbagai persoalan itu, pemerintah berencana menggelar rapat dengan manajemen PLN pada Senin depan (23/5). Selain itu, pemerintah terus mendesak PLN menyerahkan revisi RUPTL.

Sebelumnya, Kepala Pusat Komunikasi Kementerian ESDM Sudjatmiko mengatakan, banyak poin yang harus direvisi dalam RUPTL. Namun, setidaknya revisi itu menyangkut tiga poin utama. Pertama, PLN perlu memperbesar porsi energi baru dan terbarukan (EBT) untuk pembangkit listrik yang dibangunnya sesuai dengan ketentuan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yaitu 23 persen pada tahun 2025.

Kedua, pembangunan daerah timur Indonesia atau daerah-daerah terluar. “Dalam RUPTL harus berisi ada pembangunan listrik di desa atau daerah terdepan terluar,” kata Sudjatmiko. Hal ini terkait dengan target elektrifikasi nasional sebesar 97 persen pada 2019. Ketiga, RUPTL harus memuat penguatan peran PLN dalam pengelolaan listrik dan jaringannya.

Menurut dia, penetapan RUPTL PLN tersebut oleh pemerintah penting agar kemudian dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam megaproyek 35 GW. Mulai dari pemerintah sebagai regulator, investor yang berminat membangun proyek itu serta perbankan untuk sumber pendanaannya.

Desakan Kementerian ESDM kepada PLN ini bukan tanpa sebab. Jumat pekan lalu, Menteri ESDM dipanggil oleh Presiden untuk menanyakan perkembangan kemajuan proyek listrik 35 GW. Sebab, sudah banyak juga investor dan pelaku usaha menanyakan perkembangan proyek ini.

Kementerian ESDM mencatat, pembangunan proyek pembangkit listrik 35 GW berjalan lambat. Hingga bulan lalu, hanya ada 0,6 persen pembangkit 35 GW yang sudah beroperasi. Sisanya masih dalam tahap perencanaan, pengadaan, dan konstruksi.