Setelah mengunjungi Brebes, Jawa Tengah, kemarin, Kementerian Koordinator Perekonomian menggelar rapat koordinasi pagi ini. Rapat yang membahas tentang perumahan itu dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan, serta Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Maurin Sitorus.
Dari pertemuan tersebut, Kementerian Koordinator Perekonomian mencatat ada 33 perizinan pembangunan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Panjangnya rantai birokrasi ini akan dipangkas menjadi hanya 21 syarat. Apalagi, prosesnya membutuhkan waktu sekitar 753 sampai 916 hari. (Baca: Program Sejuta Rumah Terhalang Dua Aturan Pemerintah)
Hasil verifikasi pemerintah juga menunjukkan biaya perizinan pembangunan perumahan seluas lima hektare mencapai Rp 3,5 miliar. Waktu pengurusan sekitar tiga tahun. Karena itu, pemerintah menargetkan peraturan penyederhanaan izin akan keluar pada satu hingga dua bulan kedepan.
Lama dan mahalnya perizinan ini sempat disinggung oleh Presiden Joko Widodo saat peluncuran program Sinergi Aksi untuk Ekonomi Rakyat di Brebes. “Perizinan ini akan kami desain ulang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah benar-benar bisa menikmati. Dalam satu sampai dua bulan, kami akan buatkan paket peraturan yang lebih baik,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution di kantornya, Selasa, 12 April 2016.
Disinggung Jokowi perihal lamanya perizinan, Ferry menjelaskan, selama ini sudah ada peraturan untuk mempercepat itu. Misalnya melalui Peraturan Pemerintah terkait tarif khusus perizinan dengan Rp 50 ribu hingga tanpa biaya sama sekali. Atau juga pelayanan satu hari dan satu jam. Untuk mengurus Hak Guna Bangunan (HGB) dan hak milik pun bisa dilakukan setengah hari. “Yang buat lama itu, misalnya, pecah waris. Tentu minta fatwa waris, siapa bagian berapa? Ini harus sesuai di sini,” tutur Ferry.
Menurutnya, dalam membangun rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah akan dipertimbangkan mengenai lokasinya. Sebab, lokasi proyek sejuta rumah ini tidak bisa berada di tempat yang jauh dari asalnya. Bila tidak, hal itu malah akan menimbulkan beban biaya baru. Misalnya, ketika konsumen mendapat fasilitas perumahan yang jauh dari tempat kerja dan sekolah, akan berefek pada ongkos tambahan transportasi. (Baca juga: Pemerintah Genjot Proyek Pembangunan Sejuta Rumah).
Karena itu, perumahan bagi golongan ini akan didesain deket dengan permukiman masyarakat yang membutuhkannya. “Jadi, saya kira ada dua model. Ada rumah untuk berpenghasilan rendah dan rumah murah. Itu jadi pilihan. Jika seseorang punya kemampuan, dia punya pilihan,” kata Ferry.
Direktur Jenderal Maurin menambahkan, aturan pemangkasan perizinan ini akan berbentuk Peraturan Presiden. Rencananya tata atur tersebut akan keluar Mei mendatang. Dia memperkirakan dampaknya baru terasa tahun depan. Sebab, pengembang harus mempersiapkan lahan terlebih dulu.
Menurutnya, biaya izin pembangunan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah juga diupayakan hilang. Selain itu, pemerintah akan membentuk tim pengawas untuk memastikan kebijakan ini berjalan dengan semestinya. (Lihat pula: Hingga Maret Anggaran Penyediaan Rumah Baru Terserap 7,6 Persen).
Kendala pembangunan perumahan rakyat, kata Maurin, juga terkait dengan ketersediaan kredit untuk sektor properti, terutama bagi pengembang kecil. Juga perizinan, serta persyaratan pembangunan perumahan yang berbelit dan mahal. Dari sisi permintaan, hambatan mulai dari ketersediaan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dengan bunga terjangkau, sampai rendahnya akses masyarakat tehadap produk perbankan.