Jokowi Luruskan Kabar Indonesia akan Ikut Kemitraan Trans Pasifik

setkab.go.id
Presiden Jokowi bertemu dengan Presiden AS Barack Obama, di White House, Washington DC, AS, Selasa (27/10).
Penulis: Yura Syahrul
18/12/2015, 09.00 WIB

KATADATA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meluruskan kabar yang berkembang selama ini bahwa dirinya telah memutuskan Indonesia akan bergabung dengan kelompok kerjasama Trans Pacific Partnership atau TPP. Menurut dia, langkah bergabung dengan kelompok kerjasama dagang negara-negara kawasan Pasifik tersebut belum dalam waktu dekat ini.

“Waktu bertemu dengan Presiden (Amerika Serikat) Barrack Obama, saya sampaikan bahwa Indonesia bermaksud akan ikut TPP. Sekali lagi, “bermaksud akan”. Jadi sebetulnya masih jauh, bukan “akan”. Kalau “akan” sudah agak dekat,” kata Jokowi saat memberikan arahan pada Rapat Pimpinan TNI, di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Rabu (16/12), seperti dikutip dari situs Sekretariat Kabinet.

Presiden menyebutkan kehati-hatiannya itu juga diungkapkannya dalam pemilihan bahasa yang digunakan saat bertemu Obama di Gedung Putih, Washington DC, akhir Oktober lalu. “Sampai (bahasa) Inggrisnya kemarin kita pilih “intend to join“, sampai tanya bolak-balik ke Bu Menteri (Menteri Luar Negeri Retno Marsudi) bukan “will join“. Pemilihan kata-kata saja nanti kalau keliru bisa repot,” ujar Jokowi.

(Baca: Bertemu Obama, Jokowi: Indonesia Gabung Kemitraan Trans-Pasifik)

Seperti diberitakan sebelumnya, komitmen Indonesia bergabung dengan TPP disampaikan Jokowi kepada Obama dalam lawatannya ke AS, 27 Oktober lalu. Jokowi mengungkapkan, dua pertimbangan pemerintah untuk bergabung dengan TPP. Pertama, ekonomi Indonesia adalah ekonomi terbuka. Kedua, dengan penduduk sebanyak 250 juta orang, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

Keputusan Indonesia bergabung dengan TPP kala itu itu menjadi pemberitaan sejumlah media internasional. New York Times dan The Guardian menyebutnya sebagai “kemenangan Presiden Obama merangkul sekutu penting di kawasan Pasifik untuk menyeimbangkan persaingan ekonomi dengan Cina”. Pasalnya, Indonesia memiliki perekonomian senilai US$ 1 triliun, dan termasuk kelompok 20 (G-20) negara-negara ekonomi utama dunia.

Di dalam negeri, keputusan tersebut sempat menuai perdebatan. Pasalnya, sejumlah pihak menilai Indonesia saat ini belum siap membuka pasarnya secara terbuka bagi 12 negara anggota TPP. Alih-alih meningkatkan ekspor, Indonesia bisa menjadi pasar empuk bagi produk-produk dari luar negeri yang harganya lebih murah.

Di satu sisi, Jokowi mengakui, keinginannya agar Indonesia bergabung dalam TPP memang perlu diperhitungkan secara matang. “Semuanya harus dikalkulasi, semuanya harus dihitung secara detail,” katanya. Perhitungan tersebut terkait dengan apa yang menguntungkan bagi Indonesia kalau ikut dengan suatu blok kerjasama ekonomi atau dagang.

Selain itu, harus mempersiapkan perekonomian di dalam negeri untuk menghadapi era perdagangan bebas. Caranya adalah menghilangkan berbagai macam proteksi dan subsidi yang berlebihan karena itu dapat mengurangi daya saing dan nilai kompetitif Indonesia.

Cara lainnya yaitu mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) agar mampu bersaing dengan tenaga kerja asing. “Visi ke depan adalah visi kompetisi, visi persaingan, tidak ada yang lain,” katanya.

Di sisi lain, Indonesia tidak bisa lagi menolak untuk bergabung dengan kerjasama ekonomi dunia dengan alasan beum siap. Jokowi menunjuk contoh pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEA (MEA) mulai Januari tahun depan. “Apakah bisa mengatakan, Indonesia menolak tidak akan bergabung dengan MEA? Tidak bisa,” tandasnya. Pasalnya, perekonomian dunia pascaperang dingin sudah berubah sangat cepat. Masing-masing negara perlu mengintegrasikan dirinya dalam kerjasama ekonomi. Seperti kerjasama dengan negara-negara ASEAN (MEA), TPP, kerjasama dengan blok ekonomi Cina (RCEP) dan kerjasama dengan Uni Eropa.

Di tempat terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi Lukman juga menyatakan Indonesia perlu hati-hati sebelum memutuskan bergabung dengan TPP. Ia menyarankan perlu memeriksa secara teliti setiap sektor kerjasama dagang dan ekonomi dalam TPP tersebut. Mulai dari aspek masa transisi, fleksibilitas, dan implikasinya terhadap peraturan di dalam negeri.

Selain itu, menyiapkan negosiator yang handal untuk menegosiasikan berbagai persyaratan dalam kerjasama itu. “Negosiator itu didukung oleh tim yang memenuhi syarat dari para ahli hukum internasional dan hukum bisnis,” kata Rizal saat memaparkan makalahnya dalam acara Bank Dunia di Jakarta, Selasa lalu (15/12).

Reporter: Redaksi