Pertumbuhan ekonomi Indonesia telah memasuki zona negatif pada triwulan II 2020 sebesar 5,32%. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani meminta pencairan stimulus pemerintah terus dipercepat untuk memulihkan perekonomian dan sektor usaha dalam negeri.
"Rebound ini amat bergantung pada stimulus pemerintah karena kemampuan pemodalan dalam negeri terbatas," kata Shinta saat dihubungi Katadata, Rabu (5/8).
Dari sisi kebijakan, ia menilai stimulus yang digelontorkan pemerintah sudah tepat. Namun, stimulus tersebut tidak efektif untuk mendongkrak kinerja sektor riil.
Pasalnya, pencairan atau distribusi stimulus kerap terhambat, khususnya untuk pihak yang membutuhkan seperti masyarakat yang kehilangan pendapatan atau pekerjaan dan pelaku usaha yang kekurangan modal usaha.
Padahal, distribusi stimulus sangat diperlukan untuk peningkatan daya beli masyarakat. Selain itu, peningkatan belanja pemerintah juga dibutuhkan untuk menciptakan permintaan sehingga diharapkan bisa memberikan hasil positif terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan III.
Di sisi lain, reformasi kebijakan ekonomi, khususnya untuk memperbaiki iklim usaha dan investasi harus terus dilakukan. Dengan demikian, peningkatan kinerja sektor riil tidak hanya bertumpu pada stimulus dan kekuatan modal dalam negeri yang terbatas.
"Tetapi juga dengan Penanaman Modal Asing (FDI)," ujar dia.
Bila kebijakan tersebut tidak diperbaiki, maka pemulihan ekonomi menjadi mudah terganggu faktor eksternal. Selain itu, pemulihan ekonomi dapat berlangsung lebih lama.
Di sisi lain, penciptaan lapangan pekerjaan pun bisa sulit dilakukan bagi pekerja terdampak Covid-19.
Menurutnya, pemerintah saat ini perlu memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa penanggulangan Covid-19 bisa dilakukan dengan baik, selain terus meminta masyarakat mematuhi protokol kesehatan.
Dikonfirmasi terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perdagangan Benny Soetrisno mengatakan, pemerintah perlu lebih giat meningkatkan daya beli masyarakat.
"Daya beli ini sebagai pengungkit untuk peningkatan permintaan supaya bisa bekerja," ujar dia.
Adapun, upaya peningkatan itu bisa dapat dilakukan dengan memberikan stimulus Pajak Penjualan (PPN) hingga memastikan bantuan sosial (Bansos) berdampak positif pada masyarakat.
Selain itu, Indonesia diharapkan bisa mengurangi produk impor agar permintaan dalam negeri meningkat. Bila permintaan dan produksi dalam negeri meningkat, buruh hingga karyawan dapat tetap bekerja dan mendapat penghasilan.
Selain itu, pemerintah diminta untuk memberikan modal kerja baru dengan bunga rendah kepada sektor industri manufaktur untuk menopang kinerja industri yang sedang lesu. Apalagi industri manufaktur berkontribusi paling besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yaitu 19,87% pada triwulan II 2020.
Benny pun optimistis, pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada triwulan III 2020 kembali ke zona positif. "Genjot belanja secepatnya. Dorong belanja negara, belanja pemerintah daerah, hingga BUMN," kata dia.
Resesi Ekonomi
Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri berpandangan berbeda. Dia memperkirakan kontraksi ekonomi akan berlanjut pada kuartal ketiga mendatang, meski tak sedalam kontraksi pada April-Juni 2020. Apalagi, pandemi Covid-19 di Indonesia belum kunjung mencapai puncak kurva.
"Besar kemungkinan kontraksi ekonomi bakal berlanjut pada kuartal mendatang walaupun tak sedalam kuartal kedua. Jika demikian, berarti dua kuartal berturut-turut mengalami kontraksi, sehingga Indonesia bakal memasuk resesi," tulis Faisal dalam situs pribadinya, Rabu (5/88).
Faisal menilai pemerintah tak perlu memaksakan diri agar Indonesia terhindar dari resesi ekonomi. Jika dipaksakan, resesi berpotensi lebih panjang sehingga menelan ongkos ekonomi dan sosial kian besar.
Adapun pada kuartal kedua tahun ini, dua sektor yang terimbas paling berat akibat pandemi Covid-19 yaitu Transportasi, serta akomodasi dan makan minum, masing-masing mengalami kontraksi sebesar 30,8% dan 22% pada kuartal II 2020 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, karena sumbangan kedua sektor ini pada perekonomian relatif kecil, maka pengaruhnya terhadap perekonomian tak dominan.
Sedangkan industri manufaktur yang merupakan penyumbang terbesar PDB dengan kontribusi mencapai 19,8% juga mengalami kontraksi cukup dalam, yaitu 6,2%. Dari 15 kelompok industri, hanya empat yang masih tumbuh, sedangkan 11 sisanya mengalami kontraksi. Industri alat angkutan menderita kontraksi terparah sebesar 34,3%.
"Gelagatnya sudah terlihat dari data penjualan sepeda motor dan otomotif," katanya.
Konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen terbesar berdasarkan pengeluaran dalam PDB dengan kontribusi 58% juga akhirnya merosot atau mengalami kontraksi sebesar 5,51%. "Kejadian ini hampir hampir sama parahnya dengan krisis 1998 ketika pertumbuhan konsumsi rumah tangga minus 6,17%," katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan pemerintah akan berupaya agar perekonomian pada kuartal III tumbuh 0% atau positif sehingga Indonesia terhindar dari resesi teknis. Pemerintah memproyeksi ekonomi sepanjang tahun ini tumbuh pada kisaran minus 0,4% hingga 1%.
Dia pun menyebut Indonesia secara teknis belum memasuki resesi ekonomi meski ekonomi pada kuartal II negarif secara tahunan.
"Secara teknis kalau dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi negatif, itu berarti suatu negara atau ekonomi mengalami resesi. Kita kuartal I masih tumbuh, kuartal II mungkin negatif, tetapi Kuartal III harapkan mendekati 0% sehingga secara teknis tidak resesi," ujar Sri Mulyani dalam konferensi video di Jakarta, Selasa (16/6).