Pandemi corona menggerus pendapatan dan mempercepat penutupan gerai retail PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) sepanjang sembilan bulan pertama 2020. Perusahaan membukukan penjualan kotor sebesar Rp 5,9 triliun, turun 57,6% dibandingkan Januari-September 2019 senilai Rp 13,8 triliun.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di Jakarta serta pembatasan operasional di wilayah lain juga membuat Matahari menutup gerai yang berkinerja minim. Hal ini bagian dari restrukturisasi perusahaan.
CEO dan Wakil Presiden Direktur Matahari, Terry O'Connor mengatakan, sepanjang 2020, diperkirakan ada tujuh gerai format besar dan gerai khusus yang ditutup. Sedangkan tiga gerai format besar lain akan dibuka.
Per 30 September 2020, perusahaan mengoperasikan 153 gerai di 76 kota di seluruh Indonesia. Sedangkan hingga akhir tahun, perusahaan menargetkan mengoperasikan 150 gerai format besar dengan multi-brand.
Untuk mengurangi dampak pandemi, perseroan juga memperketat biaya operasional. Caranya, dengan bernegosiasi ulang untuk memperoleh keringanan biaya sewa. Perusahaan juga memangkas gaji karyawan, yang dijadwalkan pulih kuartal IV.
Strategi ini efektif mengurangi beban operasional sebesar 26,2% pada kuartal ketiga dan 29,3% pada periode Januari sampai dengan September.
Meski demikian, Matahari masih membukukan rugi bersih Rp 617 miliar sepanjang Januari-September 2020, turun drastis dibandingkan periode yang sama tahun lalu dengan perolehan laba bersih Rp 1,18 triliun.
"Semua strategi pemulihan kami berjalan sesuai rencana, namun peningkatan kunjungan ke gerai tertahan oleh PSBB pada September 2020," kata Terry dalam keterangannya, Jumat (23/10).
Turunnya tingkat transaksi pengunjung gerai selama PSBB juga tercermin dari pertumbuhan rata-rata penjualan di tiap toko atau same store sales growth (SSSG) sebesar -57,7% pada hingga kuartal III 2020.
Padahal, perusahaan mengklaim sudah menyiapkan gerai dengan berbagai protokol kesehatan yang ketat untuk meyakini pelanggan tetap aman dan nyaman berbelanja.
Untuk menjaga struktur keuangan tetap kuat, perusahaan akan mengontrol ketat terhadap seluruh pengeluaran, termasuk menahan belanja modal (capex) untuk membuka toko pada kuartal III ini.
Bisnis Ramayana Juga Tertekan
Peretail busana pesaing Matahari, PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS) juga menghadapi tekanan serupa selama pandemi. Akibat PSBB dan pelemahan daya beli masyarakat, perusahaan menutup permanen 1 gerai di Surabaya.
Perusahaan juga menutup 94 gerainya dari akhir Maret seiring PSBB. Namun,
perusahaan kembali membuka beberapa gerainya secara bertahap pada pertengahan April, khususnya di daerah yang melonggarkan PSBB.
Hingga 30 Juni 2020, Ramayana telah mengoperasikan kembali 105 gerai dari total 118 gerai dengan mengikuti protokol kesehatan.
Pendapatan perseroan anjlok 58% menjadi Rp 2,19 triliun di semester I 2020. "Pembatasan operasional dan pelemahan daya beli berdampak besar terhadap Ramayana. Terutama di kuartal II 2020, yang mana Lebaran biasanya menyumbang terbesar terhadap penjualan," tulis manajemen perseroan dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI).
Untuk menindaklanjuti penurunan penjualan dan laba kotor, perseroan mengontrol ketat pengeluaran dan efisiensi biaya operasional secara menyeluruh. Perusahaan juga juga mengajukan keringanan biaya sewa dari pihak developer.
Alhasil, total biaya operasional perseroan di kuartal kedua turun 52,9% menjadi Rp256 miliar, dibandingkanRp543 miliar di kuartal kedua tahun lalu.
Namun, laba bersih yang diperoleh perseroan pada semester I 2020 turun tajam 99,1% menjadi Rp 5 miliar dari Rp590 miliar di periode yang sama tahun lalu. Ini dikarenakan masih tinggi beban yang ditanggung perusahaan, salah satunya beban keuangan.
Untuk memaksimalkan celah pendapatan, perseroan mulai memaksimalkan penjualan online dan bisnis supermarket. Hingga semster I 2020, bisnis supermarket dan produk segar berkontribusi sekitar 18% terhadap total pendapatan.
Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) memperkirakan, sektor tersebut sepanjang tahun ini akan tertekan menjadi di kisaran 1,5-2%, atau lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai 8-8,5%.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan, proyeksi pertumbuhan tersebut sejalan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini sebesar 0% versi Bank Dunia.
"Kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia minus, maka pertumbuhan industri retail juga akan minus," kata Roy saat dihubungi Katadata, Kamis (13/8).
Menurutnya, pertumbuhan industri retail sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga. Alhasil, jika konsumsi atau daya beli masyarakat menurun, pasti akan berimbas pada kinerja sektor tersebut.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan II tercatat minus 5,51% secara tahunan. Pada periode yang sama, pertumbuhan industri retail pada triwulan II pun terkontraksi menjadi minus 4,5%.
Roy berharap, pertumbuhan ekonomi pada triwulan III pun akan membaik dibandingkan triwulan sebelumnya, seiring pembukaan kembali aktivitas perekonomian. "Namun ini bukan pemulihan, hanya membaik dari triwulan sebelumnya," ujar dia.