Cegah Klaster Covid-19 di Pabrik, Pemerintah Perlu Penuhi Hak Pekerja

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.
Pekerja menyelesaikan pembuatan mukena di Pabrik Mukena Siti Khadijah, Cinere, Depok, Rabu (7/4/2021). Jelang datangnya bulan Ramadhan, produksi mukena di pabrik tersebut mengalami peningkatan hingga seratus persen, untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri dan pasar luar negeri seperti Malaysia, Singapura dan Inggris.
19/7/2021, 13.49 WIB

Serikat pekerja atau serikat buruh mencatat adanya sebaran kasus Covid-19 melalui klaster pabrik dalam bebeapa pekan terakhir. Bahkan, munculnya penyebaran melalui klaster pabrik dipandang sebagai penyebaran paling agresif. 

Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi Trisnanti bersama sejumlah serikat menuntut pemerintah memastikan perlindungan hak atas kesehatan dan hak-hak kerja para buruh. “Data kami serikat pekerja atau serikat buruh sektor TGSL (tekstil, garmen, sepatu, dan kulit) menunjukkan hal itu,” kata Dian dalam konferensi pers virtual, Senin (19/7).

Ia mengatakan, dalam dua pekan terakhir  ribuan anggota serikat buruh di wilayah Cakung, Tangerang, Subang, Sukabumi, dan Solo terpapar melalui tempat kerja atau pabrik. Sebagian besar anggota juga tinggal di wilayah perumahan padat, sehingga menyebabkan penghuni perumahan ikut terpapar.

“Klaster pabrik ini dapat menyebabkan munculnya klaster hunian,” ujarnya.

Dia menambahkan, klaster pabrik terjadi akibat pelanggaran protokol kesehatan oleh pengusaha yang berlangsung di lingkungan pabrik tanpa disertai sanksi. Oleh karena itu, Dian meminta pemerintah untuk mendesak pengusaha agar melaksanakan protokol kesehatan secara ketat. 

Selain itu, pengusaha pabrik juga dimintan untuk menyediakan alat perlindungan diri yang memadai bagi para pekerjanya dan membayar upah tanpa memangkas nilainya dengan alasan apapun selama pandemi berlangsung.

Lebih lanjut, dia juga menyoroti penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang dinilainya tidak efektif.  Ia mengatakan, pada sektor manufaktur TGSL, penerapan PPKM nyaris tidak berlaku bagi ratusan ribu atau bahkan jutaan pekerjanya.

Bahkan, Dian mengatakan di sentra industri diketahui puluhan pabrik masih beroperasi 100%. Selain itu, para pekerja wajib bekerja penuh waktu, bahkan melakukan lembur. Pekerjaan juga dilakukan di dalam ruang tertutup dan padat, tanpa alat pelindung diri dan fasilitas kesehatan memadai.

“Karena itu, kami menuntut pemerintah untuk memberikan sanksi tegas pada perusahaan yang melakukan penyelewengan dan pelanggaran PPKM Darurat. Termasuk membiarkan pekerjanya terus bekerja tanpa APD, tanpa fasilitas kesehatan, dan memaksa mereka bertanggung jawab sendiri,” katanya.

Selain itu, Dian mewakili pimpinan serikat buruh lainnya juga menyampaikan tuntutan kepada pemerintah untuk mendesak Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Salah satunya untuk memastikan pemenuhan hak-hak kesehatan pekerja selama masa pandemi Covid-19. Begitu juga dengan pengadaan vaksin gratis bagi pekerja dan anggota keluarganya di lingkungan pabrik, jaminan upah dan fasilitas rehabilitasi kesehatan gratis bagi pekerja.

“Kami rasa itu adalah sejumlah tindakan konkrit sebagai wujud solidaritas sosial pengusaha di masa sulit ini,” ujarnya.

Dia menambahkan, pihaknya akan melakukan advokasi bersama untuk memastikan brands dan pengusaha pelaksana produksi TGSL memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja selama pandemi Covid-19, termasuk hak atas kesehatan, hak atas K3, serta hak atas upah layak.

Pemerintah resmi memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat untuk wilayah Jawa dan Bali pada 3-20 Juli 2021. Untuk industri esensial, seperti perbankan, teknologi informasi (IT) dan industri yang berorientasi ekspor hanya diperbolehkan bekerja di kantor (WFO) 50% dari jumlah pekerja.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakrie mengatakan Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) terbukti mampu menolong pabrikan sejak tahun lalu. Apalagi, saat ini kondisinya cukup berbeda dengan tahun lalu.

Firman menjelaskan pandemi Covid-19 telah membuat perekonomian Indonesia dan negara tujuan ekspor sama-sama terpuruk tahun lalu. Berbeda dengan saat ini, di mana kondisi Indonesia semakin mengkhawatirkan, sementara negara-negara tujuan ekspor mulai membaik. Dengan begitu, demand atau permintaan untuk produk alas kaki dari negara-negara tujuan ekspor masih ada.

Menurutnya saat ini industri alas kaki masih sulit mengandalkan pasar dalam negeri. Meski ada peningkatan penjualan atau omzet pada lebaran tahun ini, industri masih belum bisa menikmati hasil penjualan tersebut. Ditambah lagi, saat itu retail masih harus menghabiskan stok yang ada.

Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi