Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia mendapatkan limpahan berkah akibat krisis energi yang dialami Cina. Namun, mereka tidak bisa memaksimalkan berkah tersebut karena kesulitan bahan baku.
Krisis energi Cina memaksa produsen untuk mengalihkan pesanan dari Cina ke beberapa negara lain, termasuk Indonesia. Pasalnya, krisis energi membuat perusahaan Negara Tirai Bambu tidak bisa mengoperasikan pabriknya secara maksimal.
"Ini menjadi limpahan pasar bagi produk dalam negeri dan dapat dimanfaatkan oleh industri garmen dan tekstil Indonesia," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta dalam konferensi pers virtual, Jumat (15/10).
Redma menyebut, krisis yang terjadi di Cina yang saat ini juga dialami beberapa negara lain seperti Inggris dan India.
Kondisi ini menjadi peluang bagi industri TPT lokal untuk dapat mengisi pasar yang ditinggalkan oleh negara pesaing lainnya baik di dalam maupun luar negeri, sehingga bisa meningkatkan utilisasi dan mendorong investasi baru industri tekstil.
Namun, persoalan energi di Cina ini membawa dua sisi bagi Indonesia. Di satu sisi, krisis energi Cina membuat industri TPT lokal kelimpahan pesanan yang dialihkan dari negeri Tirai Bambu tersebut.
Di sisi lain, industri TPT lokal mengalami kesulitan mengimpor bahan baku.
Sebagian besar bahan baku industri TPT lokal masih mengandalkan impor dari Cina, sedangkan krisis energi yang terjadi di negara tersebut membuat beberapa perusahaan memberhentikan suplai energi sampai 60%.
Hal ini yang menjadi hambatan industri TPT lokal dalam memanfaatkan peluang limpahan pesanan yang ada.
Selain itu, kenaikan harga batu bara juga berimbas negatif bagi industri TPT lokal. Porsi penggunaan energi oleh industri TPT terbilang cukup tinggi sehingga kenaikan harga sangat berpengaruh terhadap kinerja industri tekstil.
Redma memparkan, di industri hulu seperti fiber dan filament porsi penggunaan energi sebesar 25%, untuk spinning 18%, dan knitting atau perajutan sebesar 14%.
Oleh karena itu, pelaku industri tekstil mengharapkan intervensi dari pemerintah untuk menyediakan batu bara dalam jumlah yang cukup dan dengan harga di bawah US$ 70 per ton.
"Jadi harus dipenuhi dulu kebutuhan industri dalam negeri, baru boleh cari untung dari ekspor. Jangan sampai ini semua dibebankan juga terhadap kami," katanya.
Hambatan lain yang dialami industri tekstil yakni mahalnya ongkos kirim via laut atau sea freight cost yang disebabkan oleh kelangkaan kontainer.
Selain itu, Redma menyebut industri TPT saat ini juga masih sangat bergantung dengan bahan baku impor yang menyebabkan industri TPT tidak mampu bersaing secara berkelanjutan baik di pasar domestik maupun pasar global.
Pada 2020, ekspor garmen dan produk jadi lainnya sebesar 441 ribu ton, jumlah ini masih lebih kecil dibandingkan dengan impor kain yang sebesar 661 ribu ton.
"Pertumbuhan impor kain yang tidak diimbangi ekspor garmen atau pakaian jadi turut mengganggu kinerja industri kain, benang dan serat yang berorientasi pasar domestik," ujar dia.
Sebagai informasi, krisis listrik yang terjadi di Cina membuat pabrik-pabrik eksportir terbesar dunia dipaksa untuk menghemat energi dengan membatasi jumlah produksi.
Setidaknya 20 dari 34 provinsi di wilayah Cina mengumumkan pemadaman listrik. Pemadaman ini sebagian besar ditargetkan untuk pengguna industri berat. Ke-20 provinsi tersebut menyumbang 66% terhadap produk domestik bruto (PDB) Cina.
Pemadaman merupakan imbas dari kenaikan harga batu bara serta ambisi Cina untuk mengurangi emisi gas kaca.
Harga batu bara yang tinggi menyebabkan perusahaan pembangkit listrik memangkas output meskipun permintaan melonjak. Di sisi lain, beberapa daerah secara proaktif menghentikan aliran listrik untuk memenuhi tujuan emisi dan intensitas energi.