Komisi IV DPR merekomendasikan impor garam menjadi 2,5 juta ton dari rencana pemerintah mengimpor 3 juta ton tahun ini. Pengurangan impor tersebut untuk meningkatkan konsumsi garam produksi petambak lokal.
"Mengusulkan ke Kementerian Perindustrian untuk mengurangi impor, berarti dengan impor 2,5 juta ton, untuk menjaga keseimbangan (antara produksi dan konsumsi garam konsumsi)," Ketua Komisi IV DPR Sudin dalam rapat dengar pendapat bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Selasa (5/4).
Rekomendasi ini setelah Komisi IV mendapatkan paparan dari PT Garam yang mengkhawatirkan garam impor akan merembes ke garam konsumsi. "Kami tidak bisa membuktikan, tapi indikasinya (garam impor merembes ke garam konsumsi) ada," kata Direktur Utama PT Garam Arif Haendra.
PT Garam mencatat konsumsi garam di dalam negeri sekitar 500 ribu ton per tahun, sedangkan produksi garam nasional mencapai 1 juta ton per tahun. Garam produksi petambak ini diolah menjadi garam konsumsi rumah tangga.
Garam impor ini seharusnya digunakan untuk kebutuhan industri, seperti makanan dan minuman, chlor alkali plat (CAP), farmasi, dan kimia.
Arif mengatakan garam yang diimpor oleh pabrikan memiliki spesifikasi khusus, seperti kemurnian NaCl, kandungan mineral, dan harga. Dia menilai garam lokal akan sulit bersaing dengan garam impor di dalam negeri, khususnya dari segi harga.
Dia mencatat harga garam besutan Australia yang telah sampai di Surabaya, Jakarta, dan Medan hanya senilai US$ 30 per ton atau sekitar Rp 450 per kilogram (Kg). Sedangkan harga pokok produksi petambak garam di Madura telah mencapai Rp 775 per Kg, menyentuh Rp 900 per Kg dengan biaya logistik, dan hingga Rp 1.400 jika melalui proses pemurnian.
Setelah melalui proses pemurnian, tidak semua garam dapat diserap oleh pabrikan. Pasalnya, spesifikasi terendah yang dapat diterima olah industri, dalam hal ini industri makanan dan minuman, adalah memiliki kemurnian NaCl setidaknya 94%.
Pada saat yang sama, garam impor yang dikirimkan dari Negeri Kangguru memiliki kemurnian NaCl di atas spesifikasi tersebut.
Sebelumnya, Arif menyarankan untuk mengubah aturan kemurnian NaCl untuk industri dari minimal sebanyak 94% menjadi maksimal 94%. Menurutnya, hal ini penting agar pasokan garam petani lokal yang saat ini memenuhi gudang-gudang industri dapat keluar dan tidak bersaing dengan garam impor.
"Garam impor (kadar NaCl mayoritas) 97%. Jadi, garam impor kalau dipakai garam konsumsi masih masuk karena minimalnya 94%," kata dia.
Namun demikian, harga garam impor masih akan lebih murah karena memiliki bea masuk sebesar 0%, sedangkan pabrikan pemurnian garam wajib mematuhi aturan perpajakan nasional. Arif mengatakan pemenuhan pajak tersebut berkontribusi sekitar 40% dari biaya produksi garam di pabrikan.
Selain itu, pabrikan pemurnian garam juga harus menggunakan solar khusus industri yang notabenenya tidak memiliki subsidi pemerintah.
Maka dari itu, dia menyampaikan tingkat pengembalian investasi tahunan (IRR) pada industri garam masih belum tercapai. Dia menilai inilah yang membuat investor enggan menanamkan uangnya pada industri ini.
"Investor pasti mengaitkan keekonomian dengan tingkat harga di nasional, terutama yang impor. Ini memang menjadi tantangan karena jika harga jualnya harus US$ 30 dolar per ton, akan sulit untuk mencapai keekonomian investasi garam di Indonesia," kata Arif.